Arsya suami yang tangguh, peluhnya bercucuran, kulitnya legam terbakar matahari, tubuhnya pun semakin kurus. Kadang aku tak rela melihatnya berjibaku seorang diri demi menafkahi kami.
Aku berusaha hemat dengan menabung sisa belanja sehari-hari, terutama untuk hari raya nanti. Biasanya hari itu kami dan tetangga merayakan penuh suka cita. Aku hanya bisa mengunjungi orang tuaku di kecamatan sebelah, kebahagiaanku tak pernah sempurna.
.
Kulihat suamiku duduk termenung di bale-bale rumah dekat kolam tetangga, tatapannya kosong. Rangga masih pulas mendengkur berbungkus selimut kumal.
"Mas, ada apa? Kamu sakit?" tanyaku pelan.
"Kita mudik besok, yuk! Ri?" celetuknya tanpa melihat ke arahku
Aku terdiam, ada trauma yang masih menganga di hati. Ketakutan akan penolakan Ibu kini kembali menari.
"Aku ... masih takut, Mas," jawabku bergetar.
"Ri, aku dapat kabar kalau Abah sakit, kemaren Dika mengirim pesan. Aku takut kita tak bertemu lagi dengan Abah," lirihnya pilu.
Aku terhenyak, Dika adalah adik iparku, dan dilema kini menghantuiku. Bertubi-tubi kenangan pahit itu menghantam benak. Ibu mertua belum merestui kami sampai saat ini, dan itu yang menjadi momok  paling menakutkan.
***
Esoknya sebuah dus besar beserta sebuah rangsel sudah berjejer di kursi tunggu terminal. Aku bersedia untuk mudik ke tempat mertua, sedikit gamang kulangkahkan kaki bersama Arsya dan Rangga.
Aku malu karena pulang belum membawa kesuksesan, apalagi membawa uang yang banyak. Niatku hanya satu, ingin bertemu mertuaku, dan semoga mereka kini berubah.