Mohon tunggu...
Zatil Mutie
Zatil Mutie Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari Cianjur Selatan

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mudik

20 Februari 2021   05:42 Diperbarui: 20 Februari 2021   06:08 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

....

Lima tahun sudah aku hidup di perantauan, tepatnya di kota Hujan. Tempat pahit dan getir hidup kami lewati. Suamiku Arsya adalah anak sulung dari dua bersaudara berasal dari kampung nun jauh di sana tepatnya di pesisir pantai utara Jawa.

Arsya menikahiku dengan perjuangan yang dahsyat, karena orang tuanya tak ingin bermantukan gadis kota. Kata mereka gadis kota itu pemalas, hobinya belanja, bersolek dan menguras pendapatan suami. Lebih parahnya lagi stigma orang kampung kepadaku adalah seorang wanita yang akan mengeruk kekayaan mertua.

Kala itu kujalani hidup baru di kampung dengan segala kesederhanaan, hingga aku melahirkan Rangga, buah hati kami. Ibu mertua perlahan menyayangi cucu pertamanya walaupun dia tak begitu menerimaku. Padahal sekuat tenaga berusaha menjadi menantu yang baik.
.

"Arsya, baiknya kamu ceraikan saja, Rida, biar anakmu Ibu yang urus. Kami punya calon istri untuk kamu yang berasal dari kampung, hidupmu tak akan sukses jika bersama Rida," racau Ibu sore itu.

Aku yang tak sengaja mencuri dengar dari balik pintu kamar. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuhku bergetar. Ada nyeri yang seketika menyayat hati.

"Ya, ampun, Bu, nyebut! Salah apa dia sama Ibu?" Suamiku terlihat kaget, dari nadanya dia terdengar marah.

"Kamu yang harus sadar! Menikahi gadis kota sialan adalah bencana bagi kami, jika kamu menikahi gadis kampung, tentunya kamu sudah bisa membangun rumah sendiri, kami terbiasa bersama-sama membangun rumah untuk anak kami, sedangkan orang kota pasti akan menyerahkan sepenuhnya pada keluarga laki-laki, " bentak Ibu, hatiku makin teriris.

 Memang orang tuaku tak punya apa-apa, jangankan memberi uang untuk menyumbang membangun rumah, untuk makan pun harus ekstra kerja keras, apalagi adik-adikku masih sekolah.
.
Kami akhirnya nekad pergi tanpa restu orang tua Arsya, suamiku lebih memilih merantau, dan tentunya mereka terluka. Mereka menganggap aku yang menjadikan anaknya memberontak.

Kami pergi merantau dengan bayi kecil berumur satu bulan, sedih tak terkira, tanpa arah dan tujuan. Kami menyewa sebuah rumah sangat sederhana, Arsya belajar berdagang sayur keliling dengan menjajakan dagangan milik tetangga, karena kami dekat dengan perkebunan sayur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun