Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kesulitan Menikmati Fiksi? Mengenal Pendekatan dalam Apresiasi Sastra, Yuk!

9 April 2021   20:39 Diperbarui: 9 April 2021   23:00 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempuan membaca buku (sumber gambar: pixabay.com)

"Bagaimana mau menjadi pembaca puisi, jika tak bisa memberikan apresiasi?"

Jleb! Kalimat ini, terlontar dari kolegaku, usai diminta menjadi tim seleksi pembaca puisi. Seleksi itu dilakukan untuk memilih calon peserta lomba Puitisasi Alqur'an pada Pekan Kreatifitas Mahasiswa PTKIN se-Sumatera, yang akan diselenggarakan di Padang pada pertengahan Juni nanti.

Dalam kolom penilaian yang tersedia, hanya ada tiga indikator. Artikulasi, Intonasi dan Ekspresi. Ketiga hal itu pun jamak kutemukan, jika terlibat dalam kegiatan lomba baca puisi. Dan, belum sempat kujumpai item Apresiasi pada blanko penilaian lomba.

Aku berusaha mengerti ungkapan bernada keluhan itu, karena kompetensi keilmuan kolegaku itu memang ranah Bahasa dan Sastra Indonesia. 

Diam-diam, aku berusaha memahami lontaran itu dengan beberapa tahapan kausalitas (hubungan sebab-akibat).

"Jika mampu mengerti, maka bisa menikmati. Jika mampu menikmati, maka bisa memberikan apresiasi. Dan, jika mampu memberikan apresiasi, maka akan mudah berekspresi."

Ilustrasi buku novel (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi buku novel (sumber gambar: pixabay.com)
Sekilas Mengulik Pendekatan dalam Apresiasi Sastra

Menurut hematku, sastra adalah seni mengolah dan menaklukkan kata, tapi bermakna. Jadi, ada yang menulis dengan lugas, cadas dan keras namun tertata. Ada yang menulis dengan indah dan mengharu biru, tak jarang ada juga yang sulit dimengerti (absurd?).

Pembaca bisa terlibat memberikan beragam apresiasi. Kuambil contoh di Kompasiana, ruang sastra ada di kanal fiksiana. Pilihannya, novel, cerpen atau puisi. Selain terdapat kolom komentar, juga ada tujuh pilihan pembaca untuk mengapresiasi, kan?

Namun, bagaimana jika berpijak pada pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra? Dengan menyigi sisa pengetahuan diri serta mengulik beberapa literatur di mesin penelusuran Mbah Gugel, Aku tulis intisarinya, ya?

Pertama. Pendekatan Parafrastis
Pendekatan ini terjadi, setelah pembaca bisa mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan si pengarang. Sekaligus memahami kandungan makna dengan menggunakan bahasanya sendiri. Tak hanya pesan tersurat, juga simbol konotatif yang tersirat dan tersembunyi.

Baru kemudian melakukan penilaian pada artikel tersebut. Jamaknya, pendekatan parafrastis ini digunakan oleh pengulas atau penulis resensi karya sastra. Atau selaku pembedah buku dan pembanding karya sastra.

Kedua, Pendekatan Emotif
Jika pembaca menemukan unsur emosi atau terlibat olah rasa secara mendalam dalam suatu karya sastra. 

Latar belakang pandangan pendekatan emotif ini, bahwa karya sastra adalah seni. Maka prinsipnya bisa dinikmati dan memberikan kesenangan pada pembaca.

Unsur emosi dalam karya sastra, bisa berupa keindahan dari bentuk atau cara penyajian, keindahan dalam memaparkan isi, atau semenarik apa gagasan yang disampaikan pengarang.

Ketiga. Pendekatan Analistis
Pendekatan ini berlaku jika pembaca bisa memahami gagasan pengarang, dengan menampilkan gambaran utuh yang terkandung dari karya tersebut (unsur intrinsik) dalam imajinasi pembaca. Semisal menggali karakter tokoh, menakar dimensi ruang dan waktu, atau mendaur ulang alur kisah.

Namun, pendekatan ini, tak harus menyigi keseluruhan unsur. Bisa saja dengan menilik kata kunci atau paragraf kunci. Semisal dalam puisi, bisa ditilik dari pemilihan diksi atau pemakaian majas (gaya bahasa) yang digunakan pengarang. Kritikus sastra, biasanya menggunakan pendekatan ini.

Keempat. Pendekatan Historis dan Sosiopsikologis
Karena perbedaannya tipis, jadi pendekatan ini aku satukan saja, ya? Pendekatan historis adalah, pembaca mengapresiasi setelah mengetahui biografi pengarang, serta memahami peristiwa atau kisah di balik terciptanya karya itu. Alasannya? Mengenal sejarah hidup pengarang, akan mudah memahami karyanya.

Pendekatan sosiopsikologis, adalah tentang faktor-faktor di luar diri si pengarang. Semisal adat, budaya, agama dan keyakinan yang dianut, atau kebiasaan dan tradisi di lingkungan yang mungkin saja mempengaruhi dan mewarnai pengarang.

Kelima. Pendekatan Didaktis dan Semantis
Secara harfiah, didaktis berarti mendidik. Dalam pendekatan ini, pembaca memberikan apresiasi setelah memahami gagasan, melakukan evaluasi dan tanggapan terhadap sikap pengarang dalam sebuah tulisan. Bisa juga menemukan nasehat atau makna filosofis yang berguna bagi pembaca.

Ringkasnya, pendekatan demantis, lebih kepada menelaah dan memahami makna dari sebuah karya. Entah dari kata, kalimat, lirik dan larik, atau susunan beberapa paragraf. Biasanya pendekatan semantis berteman dengan kajian struktur dan tekstur sebuah karya.

Ilustrasi Perempuan membaca buku (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Perempuan membaca buku (sumber gambar: pixabay.com)
Perlukah Pendekatan Apresiasi Sastra?

Bila memberikan apresiasi dimaknai sebagai salah satu rujukan penilaian terhadap karya sastra. Maka nilai yang diberikan, bisa menjadi ukuran seberapa mampu pembaca memahami dan mengerti suatu tulisan. Khususnya karya sastra.  

Hematku, ada dua unsur manfaat yang bisa langsung diterima dan diketahui oleh pembaca dan pengarang, jika menggunakan beberapa pendekatan di atas.

Bagi Pembaca
Terlepas dari hak preogratif atau sudut subjektivitas dari pembaca, usai menikmati karya sastra. Pendekatan-pendekatan ini, akan memantik nilai-nilai objektif dari sudut pembaca terhadap sebuah karya. Tak hanya itu, tapi  juga memandu pembaca menemukan dan memahami konten serta konteks tulisan.

Dan, pembaca pun tak harus menggunakan satu pendekatan. Bisa saja memadukan berbagai pendekatan tadi, saat memberikan apresiasi. Sependektahuku, jika sudah melakukan pendekatan itu saat memberikan apresiasi, aku percaya, pembaca pun akan bisa memproduksi karya sastra.

Bagi Pengarang
Adalah bohong, jika pengarang tak mau karyanya dibaca dan diapresiasi, tah? Toh, karya sastra bukan seperti sebutir batu yang dilemparkan ke dalam lubuk. Kemudian dibiarkan tenggelam diam-diam. Apresiasi dari pembaca, terkadang menjadi bahan bakar dan sarang amunisi pengarang!

Apresiasi pembaca pun, bisa menjadi alat ukur bagi pengarang. Sejauh dan sedalam apa, serapan ide dan gagasan yang disampaikan, diterima dan dimengerti oleh pembaca. Bisa jadi, apresiasi pembaca adalah titik api untuk mengukur diri. Memadamkan atau tetap menyalakan?

Ilustrasi buku putih (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi buku putih (sumber gambar: pixabay.com)
Terus?

Kukira, pendekatan ini pun, bisa digunakan untuk mengapresiasi karya tulisan di luar sastra, kan?

Tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan beberapa teman pengarang yang baru bergabung di Kompasiana. Sesaat sebelum atau sesudah memberikan vote dari tulisan Kompasianers yang dibacanya.

"Bang! Aku gak salah jika memberi rating inspiratif pada tulisan humor, kan?"

"Gak apa-apa! Terserah hasil bacaanmu, tah?"

"Puisiku diberi vote menghibur, Bang! Aneh, kan?"

"Gak! Puisi itu seni. Salah satu tujuan seni itu menghibur, tah?"

Curup, 09.04.2021

Zaldy chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun