Selain "kerumitan" tentang mencari dan menyigi diksi serta menguji bunyi. Tembok tebal menulis puisi itu berwujud pakem "keharusan" memuat majas (gaya bahasa) serta ketakutan melanggar "teori-teori" puisi.
Belakangan ini, ditambah lagi dengan beragam genre puisi berdasarkan jumlah lirik, bait dan kata. Akhirnya, malah batal menulis puisi. Hiks...
Saranku? Pada awalnya, tak usah dipikirkan teoritis! Sebab akan tenggelam dalam kerumitan tata nilai benar-salah, baik-buruk atau bagus-jelek. Jadi? Seperti biasa, aku akan jawab dengan satu kata dan diketahui teman-teman. "hajar!"
Sependektahuku, belum ada strata nilai yang abadi dalam berpuisi. Kecuali "rasa suka" pembaca. Dan itu, tak akan terukur! Karena rasa dan isi kepala setiap orang berbeda, tah?
Kabar bagusnya, bahwa puisi tak lagi melulu berkiblat pada diksi dan bunyi. Namun lebih kepada isi, pesan atau makna tersembunyi. Bahkan, ada juga yang "memarkirkan" beragam majas yang tersedia.
Pilihan kata tak lagi bersayap, namun lugas dan tegas. Alasannya, untuk apa bermain-main dengan keindahan kata, jika hampa makna? Benar juga! Karena cara menulis apapun itu, adalah pilihan dan selera.
Aku berikan contoh kalimat berbeda dengan satu permintaan yang sama, ketika seorang lelaki mengajukan lamaran kepada kekasihnya, ya?
1. Maukah kau menikah denganku?
2. Kau mau menjadi istriku?
3. Inginkah kau menjalani sisa usia bersamaku?