Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sepertinya Manusia Indonesia Perlu Belajar Tidur

20 Juli 2020   21:05 Diperbarui: 20 Juli 2020   22:25 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kecil yang tertidur pulas (sumber gambar : pixabay.com)

Manusia Indonesia perlu belajar tidur. Tapi, ini kesimpulan sementara atau hipotesa ngasal. Usai mendampingi lelaki kecilku, menjadi saksi sejarah perih pada seri pembuka balapan MotoGP di sirkuit Jerez, Spanyol. 

Semula, wajah anakku begitu antusias menyaksikan jalannya lomba sehabis start. Marc Marquez, jagoan anakku, masih masuk tiga besar. Teriakan keras bernada sesalan, hadir saat pembalap Honda itu terjatuh di lap kelima. Anakku menikmati hening.

Sesuai julukannya Baby Alien, Marquez kembali ke lintasan dari posisi 20. Tak butuh waktu lama, satu persatu pembalap dilibas. Teriakan anakku kembali terdengar!

"Ayo Marquez! Potong lagi!"

"Satu lagi! Kereeen..."

"Potong Miller! Yes!"

Pembalap pemilik nomor 93 tersebut, sudah kembali berada di posisi ketiga. Tapi nahas! Juara musim kemarin itu, kembali terjatuh dengan keras, padahal tersisa 5 lap menjelang pertarungan berakhir. Tragis bagi Marquez. Tragis juga bagi anakku.

Wajah lelaki kecilku kusut. Sesaat terdiam. Siaran televisi berpindah chanel tanpa menunggu hasil akhir lomba. Aku? Ikut diam. Membiarkan anakku menyesapi kekecewaan.

Waktu bergerak lambat. Sebagai penguasa remot, anakku beberapa kali mengganti siaran. Namun tak pernah kembali pada stasiun televisi yang menayangkan motoGP. Aih, Anakku benar-benar kecewa. Hingga jelang pukul 10 malam, suaranya kembali terdengar.

"Yah! Bisa pinjam ponsel? Kakak mau baca berita, tadi yang menang siapa?"

Kubiarkan anak kelas 5 Sekolah Dasar itu memenuhi inginnya. Sambil membaca berita, kemudian memindahkan hasil bacaannya padaku. Termasuk kabar Marquez cidera. Ponsel dikembalikan, anakku bersiap tidur. Namun, gerak tubuhnya tak tenang! Berguling ke kiri dan kanan. 

Hingga jelang pergantian hari, dia bangkit dan duduk di dekatku. Memperhatikan aku yang lagi membaca beberapa artikel teman-teman di Kompasiana.

"Gak bisa tidur, Kak?"

"Iya, Yah!"

"Gegara Marquez?"

Ilustrasi kamar tidur yang kosong (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustrasi kamar tidur yang kosong (sumber gambar : pixabay.com)
Kenapa Butuh Belajar Tidur?

Mari lupakan kisah kekecewaan anakku. Itu hanya salah satu pijakan dasar, hingga aku sampai pada kesimpulan sementara, bahwasanya manusia Indonesia perlu belajar tidur.

Coba bayangkan. Anakku, yang masih duduk di Sekolah Dasar, hanya mengalami satu kekecewaan. Itupun karena menyaksikan jagoannya tersungkur, dampaknya tak bisa tidur!

Aku jadi membandingkan. Bagaimana dengan orangtua yang sibuk menyusun ulang rencana keuangan keluarga hingga akhir tahun gegara korona. Dengan sebab yang sama, kubayangkan calon pengantin harus berjibaku pikiran, memutuskan untuk melangsungkan atau menunda pernikahan. Mereka pasti sulit tidur!

Begitu juga penjual jamu gendong yang kehilangan pemasukan, karena prioritas pelanggan berpindah untuk membeli kuota. Pedagang gorengan dan penjual cilok yang sepi pembeli, juga tukang sol sepatu hingga pemusik jalanan.

Isi kepala mereka penuh dengan pikiran, pengandaian dan penyesalan, yang mampu mengusir rasa kantuk menjauh pergi. Menimang kenyataan yang harus dihadapi, hari demi hari, tak mengalami perubahan berarti.

Dengan sedikit sungkan, aku mencoba membayangkan para pejabat. Entah di jalur birokrasi atau jabatan politis. Mulai dari tingkat kelurahan hingga ke pusat pemerintahan. Kukira, kekecewaan mereka semakin banyak dan semakin besar.

Mungkin kecewa terhadap kondisi terkini yang dihadapi, kecewa menyaksikan kebijakan yang tak sejalan dengan keinginan. Atau mungkin juga diam-diam, menabung kekecewaan terhadap diri sendiri. Sebab tak mampu mengatasi situasi ini.

Ada yang bilang, tidur yang teratur dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga, tak hanya membuat tubuh sehat. Namun juga memberikan waktu bagi syaraf otak untuk beristirahat. Sehingga ketika bangun tidur, tubuh dan pikiran bisa segar!

Jika cukup tidur, maka tak akan pernah disaksikan pejabat yang marah. Jika cukup tidur, bawahan akan memberi masukan pada atasan untuk menahan amarah. Bukan malah disebarluaskan. Jika cukup tidur, tidak akan saling menyalahkan, namun bersama melakukan perbaikan.

Begitu juga dengan penulis di berbagai media cetak atau elektronik. Jika cukup tidur, akan berfikir jernih dan mempertimbangkan nilai-nilai jurnalistik sebelum menayangkan tulisan. Agar pembaca yang juga cukup tidur, menerima informasi yang bernilai atau menghibur.

Bila cukup tidur, para pengendara mobil tak akan memaki, ketika di lampu merah, kaca spionnya tersenggol pengendara ojek online. Jika cukup tidur, wajah-wajah orangtua dan guru akan penuh senyuman saat menyapa anak dan siswanya. Iya, kan?

Ilustrasi gelandangan yang tertidur pulas (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustrasi gelandangan yang tertidur pulas (sumber gambar : pixabay.com)
Butuh Kajian Mengungkap Rahasia Tidur Pulas Gelandangan?

Terkadang, aku juga penasaran dengan beberapa gambar gelandangan yang terlihat, bebas tidur di mana saja dan kapan saja dia ingin. Tak peduli cuaca panas terik atau hujan deras disertai udara dingin. Jika ingin tidur, maka mereka akan tidur!

Perbandingan tak berimbang? Tolonglah jangan anggap tunawisma itu tak memiliki impian, tak mempunya harapan, atau tak ada pemikiran. Sesekali silahkan ajak bercerita mereka.

Apatah mereka tak merasakan kekecewaan? Kukira, jejangan mereka lebih banyak lagi timbunan kekecewaannya, kan? Namun, mereka masih bisa tidur! Bahkan nyenyak! Pasti mereka memiliki cara dan rahasia hingga bisa tetap tidur,tah?

Begitulah! Maka aku ambil satu hipotesa. Manusia Indonesia harus belajar tidur! Hanya materi atau kurikulum serta bentuk belajarnya, aku belum tahu.

Cara paling gampang adalah melakukan studi, dengan meneliti keseharian para gelandangan. Atau sekalian menjadi gelandangan? Aih, entahlah! Itu hanya sebagai alternatif atau pilihan.

Curup, 20.07.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun