Bagiku, Menjadi suami dan ayah itu berdasarkan pilihan keputusan! Secara sederhana, ukuran menjadi suami itu, jika memiliki istri. Dan menjadi Ayah, bila memiliki anak.
Kenapa rumit sekali memisahkan laki-laki pada peran lelaki, suami dan ayah? Kukira, peran lelaki, akan melekat selamanya pada seorang laki-laki. Namun tidak peran sebagai suami atau ayah!
Ada saja satu, dua atau banyak kasus yang ditemui. Ketika seseorang mesti menjalani peran sebagai suami. Bahkan ada yang baru hitungan sedikit bulan menjadi suami, mesti menjalankan peran sebagai ayah. ada, kan?
Lah? Kalau begitu, bukan pilihan, Bro! Bagiku, itu tetaplah pilihan. Karena peran sebagai suami atau sebagai ayah itu adalah "akibat". Penyebabnya? Pilihan keputusan dengan perbuatan yang telah dilakukan.
Urusan tak sengaja, kepleset, kecolongan atau tertangkap hansip. Itu lain soal!
Ternyata, lebih mudah, jika melakukan pemisahan peran. Kapan berlaku sebagai lelaki, sebagai suami atau berfungsi sebagai ayah. Setidaknya, akan berpengaruh pada cara mengambil keputusan.
Coba bayangkan, semisal seorang pimpinan perusahaan (sebagai lelaki), saat mengambil keputusan menjalani peran sebagai suami yang ternyata takut istri? Â Atau sebagai ayah yang dikenal kejam kepada anaknya?
Bayangan lainnya, saat berperan sebagai suami, namun ketika memutuskan malah berlagak bak pimpinan perusahaan? Atau lagi, ketika mesti berperan sebagai ayah bagi anak perempuannya, malah berfikir sebagai suami? Tuh, kacau, kan?
Jika meminjam lirik lagu grup musik rock lawas God Bless, "Dunia ini panggung sandiwara", maka butuh kemampuan dan keterampilan bermain peran yang tepat. Kapan saatnya menjadi lelaki, suami atau seorang ayah.
Apakah rutenya harus begitu? Aku tak bisa jawab, jika itu keharusan. Karena ada juga yang gunakan alur sebaliknya. Menjadi ayah, menjadi suami, baru menjadi lelaki. Aih, pokoke simulasi dari 3 peran itu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!