"Tunggu kau punya anak sendiri."
Kukira, dulu ucapan di atas hanyalah alarm yang terlalu dini berbunyi dari saudara-saudaraku. Kalimat itu lahir, karena acapkali aku ajukan "protes" terhadap sikap mereka, yang bagiku terlalu keras bagi dunia anak.
Aku menggunakan kata "seharusnya" kepada saudaraku. Setiap kali membela keponakanku menangis, karena tak mau makan sayuran. Atau berkecil hati gegara nilai rapor yang jelek, bahkan ada yang diusir dari rumah, sebab dimarahi orangtuanya karena bolos sekolah.
Saat itu, aku merasa berkewajiban untuk membela "hak keponakan" yang dirampas paksa. Aku menjadi "truk sampah" sekaligus "perisai" bagi mereka. Hingga, akupun meyakinkan diri menjadi pahlawan kebenaran dengan kalimat "seharusnya".
Setelah memutuskan menikah, kemudian memiliki anak sendiri. Kata "seharusnya" lenyap! Entah ke arah mana perginya.
Tiba-tiba, aku merasa dikejar oleh waktu. Aku merasa 'harus" memberikan perawatan serta perhatian yang lebih pada anakku. Setiap hari, kepalaku terisi dengan rencana-rencana yang harus kuajarkan dan kuingin anakku mengerti.
"Tik..tik..tik..Bunyi hu?"
"Daaan!"
"Di atas Gen?"
"Teeeng..."
"Airnya tu?"
"Yuuun!"
"Tidak terki..."
"Yaaa..."
Ada rasa bangga, saat mendengar anakku mampu menyambung setiap larik yang kunyanyikan walau satu suku kata. Sebagai orangtua, saat itu, aku merasa istimewa. Apalagi, jika nyanyian itu hadir dalam pertemuan-pertemuan keluarga.
Pada usia 3 tahun, kubelikan anakku sepeda, dengan dua roda bantu di bagian belakang. Setiap ada waktu, kuajak anakku bermain sepeda. Tanpa sadar, saat anakku terjatuh, aku malah tertawa. Ada rasa puas, saat anakku lancar bersepeda, walau dengan beberapa luka.
Sebagai orangtua, kurasakan tekanan semakin besar saat anakku mulai beranjak ke usia sekolah. Aku semakin dikejar waktu, untuk mengajarkan banyak keterampilan dan pengetahuan bagi anakku. Agar nanti tak merasa rendah diri dan malu karena tak mampu.
Aku mulai merasa jengkel, saat anakku susah membedakan antara huruf dan angka. Merasa geregetan, ketika jemarinya tak bisa memegang pensil dengan benar. Terkadang, suaraku bernada amarah, jika anakku belum mampu mengikat tali sepatu yang sebenarnya mudah. Â
Perbandingan demi perbandingan mulai kulakukan. Dan merasa kecewa, menerima kenyataan jika segala yang sudah aku upayakan, ternyata anakku tak bisa seperti teman-temannya.
Melihat itu, maka semakin banyak keinginan-keinginan yang tersusun di pikiran, tentang hal-hal yang mesti diketahui oleh anakku. Sebagai bekal mereka nanti, agar aku tak ditahbiskan sebagai orangtua yang gagal.
Kukira, aku belum menjelaskan tentang cinta pada anakku. Bagaimana caraku mencintainya, dan berharap ia mengerti, terkadang cinta tak perlu dikatakan, tapi dirasakan dan diperlihatkan.
Akupun ingin anakku mengerti bahwa dunia ini adalah mengenai orang. Bahwa yang didapatkan adalah dari apa yang diberikan. Kebahagiaan itu akan terjadi dengan mencintai, bukan membenci. Dengan saling menolong, bukan saling menyakiti.
Ingin aku menjelaskan tentang kejujuran dan integritas diri. Bahwa bernilainya seseorang bukan saja dari pengetahuan dan harta benda yang dimiliki. Tapi juga dari komitmen dan konsistensi untuk saling menghargai.
Setahun lalu, saat anakku menyelesaikan SMP, dan berujar ingin melanjutkan sekolah ke luar daerah. Aku kembali terjebak pada pertanyaan, "apa yang aku inginkan sebagai orangtua, agar diketahu oleh anakku?"
Akhirnya, akupun memilih berdamai dengan inginku. Aku mesti mengubah persepsiku sebagai orangtua. Kukira sudah saatnya, kuikuti sesuai keinginan anakku. Bukan lagi sesuai keinginanku.
Namun, batasan awal dan akhir pembelajaran itu, tak akan kujumpai ketika aku harus mengajarkan anak laki-laki menjadi pria dewasa, atau menjadikan anak gadisku menjadi seorang wanita. Pembelajaran itu, akan terus berlangsung seumur hidupnya.
Memilih untuk melupakan "seharusnya" mengajar, menghindar dengan alasan lelah mengajarkan, atau memilih untuk tidak perlu lagi mengajarkan. Tak akan menghilangkan "tugas" sebagai orangtua, tapi malah mengajarkan pelajaran masa bodoh pada anakku.
Aih, entahah! Aku masih merasakan banyak pekerjaan rumah sebagai orangtua bagi anakku. Tentang begitu penting dan ajaibnya memiliki "rasa percaya diri". Betapa hebatnya kekuatan tekad yang mampu menghapus kata pasrah dan menyerah.
Apalagi menitipkan pesan, tentang begitu nikmat dan indahnya rasa bersyukur. Terkadang, aku lupa dengan satu pepatah kuno bangsa Arab, yang berlaku berabad-abad lalu.
"Menilai pohon kurma dengan melihat buahnya, bukan dengan memeriksa akarnya!"
Curup, 17.06.2020
[ditulis untuk Kompasiana]