Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Temans, Hidup Tak Selalu tentang Kecepatan

4 Juni 2020   22:27 Diperbarui: 4 Juni 2020   22:32 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Pernah melihat kecelakaan di jalan raya? Apa reaksi yang biasa ditemukan?

Kalau di kampungku, orang-orang segera berlari saling mendahului ke tempat kejadian. Jika terlihat ada darah, maka akan memberhentikan mobil, buru-buru mengangkat korban untuk segera di bawa ke rumah sakit

Begitu juga jika terjadi peristiwa kebakaran. Kerumunan akan semakin banyak. Terkadang, mobil damkar pun kesulitan mengakses lokasi. Karena orang-orang telah memenuhi jalan raya. Bahkan antar sesama "penonton" acapkali terjadi perang urat leher.

Pada kasus kecelakaan. Jika aku menonton film-film barat, orang-orang yang ada di sekitar korban, tak akan "menyentuh" korban. Mereka lebih memilih menelpon petugas medis. Alasannya, bisa saja saat menyentuh korban, akan memperparah cidera. Aih, tapi itu di film, ya?

Berbeda lagi dengan peristiwa kebakaran. Jalanan yang macet, damkar yang dianggap lelet, pertengkaran antar pemilik rumah yang ingin lebih dipriortaskan, bersatu padu dengan kerumunan orang-orang yang terkadang hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu.


Tak jarang, peristiwa kecelakaan atau kebakaran itu, kemudian menciptakan masalah-masalah baru. Semisal pihak rumah sakit, bingung akan menghubungi keluarga korban jika penanganan butuh izin untuk tindakan operasi, jika ternyata korban tak mempunyai identitas.

Tentu saja orang-orang yang mengangkat korban ke mobil itu tak bisa disalahkan, tah? Toh, niat mereka membantu? Apalagi itu kondisi darurat dan mesti cepat. Namun, apakah cepat itu tepat?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Manusia Butuh Kecepatan, tapi...

Dalam tulisan pendek tentang "Kesatria Cahaya Membutuhkan Kesabaran Maupun Kecepatan". Paulo Coelho menuliskan bahwa ada 2 kekeliruan manusia dalam hidup. Aku tulis, ya?

Pertama. Bertindak Terlalu Dini.

Masa kecil dulu, aku mengenal ujaran "siapa cepat, dia dapat". Ketika di sekolah dasar seringkali siapa yang cepat mengumpulkan tugas, akan mendapatkan hadiah dari guru. Begitu juga, saat jam terakhir pelajaran. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan, boleh segera pulang!

Masa itu, lebih dulu keluar pintu, walau hanya jarak satu menit dari teman sekelas, bangganya luar biasa. Besok-besok, bersama teman-teman akan rebutan menjawab. Akan ada pertengkaran atau malah keributan di kelas.

Adakalanya merasa senang, ditunjuk guru untuk menjawab karena lebih dahulu mengacungkan jari telunjuk. Namun menjadi malu, wajah memerah terkadang marah diteriakkan teman sekelas karena jawaban salah. Hiks

Kedua. Membiarkan Kesempatan Terlepas Begitu Saja.

Namun, seiring bertambah umur, Stimulus cepat dan dapat itu, berubah, menjadi lambat dan selamat. Kalimat "pelan-pelan saja, yang penting selamat!" lebih sering terdengar. Kalau bahasa Jawa, "alon-alon asal kelakon".

Hal itu, seirama dengan pesan Petuah Minang "Jan sampai tabali lado pagi!" maksudnya, sebagai nasehat, jangan ambil keputusan membeli cabe di pagi hari, jika ternyata cabe pada siang atau sore hari lebih bagus dan harganya lebih murah!

Petuah "jangan buru-buru" lebih sering dijumpai. Begitu juga pesan mesti sabar. Karena bisa saja menguntungkan. "Man sabara zafara" pepatah Arab ini menyimpan pesan, siapa yang bersabar akan beruntung.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Kecepatan Menjadi Mutlak, jika...

Bandingkan dengan Fenomena Kekinian? Kecepatan menjadi ukuran mutlak dalam nyaris semua aspek kehidupan. Kuambil contoh kusut masai kebijakan tentang Covid 19. Sila simak, begitu keteteran gerak nadi pemimpin negeri juga masyarakat. Semua berlomba ingin cepat.

Mungkin dengan energi yang dimiliki bisa saja mewujudkan "Biar cepat asal selamat!" Atau malah terkadang diungkapkan dengan nada menantang, "kalau bisa cepat, kenapa harus lambat?"

Resikonya? Kebijakan acapkali berubah arah, atau malah anulir sebelum sempat dijalankan. Masyarakat? Semakin memburu minta penjelasan. Yang terjadi? Perdebatan, tah?

Alih-alih menjadi solusi, keputusan dan kebijakan yang diambil secara cepat malah melahirkan ruang-ruang kontradiksi!

Kecepatan dibutuhkan jika menjadi solusi. Namun jika bukan sebagai solusi, kenapa tak mencoba sejenak menahan diri?

Seperti peserta lomba cerdas cermat di babak rebutan. Semua regu tak hanya, harus melakukan tindakan cepat memencet bel, namun juga menghitung resiko, jika ternyata jawaban itu kemungkinan salah.

Jika tak mampu menjawab, tindakan paling aman adalah tidak memencet bel! Jika tetap nekat, besar kemungkinan akan mengalami pengurangan nilai, kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

"Saya tidak pernah melibatkan diri dalam suatu hal, tanpa lebih dulu menyiasati jalan keluarnya. Selain itu, saya tidak pernah ke dalam sebuah situasi, lalu terburu-buru ingin segera keluar lagi"

Kalimat panjang ini adalah jawaban Amru bin Ash (Gubernur Mesir) saat ditanya caranya memimpin di Mesir oleh Khalilifah Muawiyah. Seperti dinukilkan Paulo Coelho dalam buku "Kitab Suci Kesatria Cahaya".

Begitulah. Terkadang kecepatan tak mampu mengatasi kesabaran. Namun, kesabaran pasti mampu mengatur kecepatan. Dan ini, berlaku di seluruh aspek kehidupan. Agar tak menhadirkan penyesalan.

Curup, 04.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun