Hingga tandas isi gelas dan bersisa ampas kopi. Tak lagi ada cerita tentang Nyai Rumi. Pun tak kudengar alasan meminta maaf. Pagi itupun hanya di dominasi suara Yai Jati.
Tugasku, mendengar, anggukkan kepala dan habiskan kopi. Aku harus segera beranjak pergi dari dangau itu. Meninggalkan Yai Jati yang kembali sendiri.
**
"Bang! Maafkan aku, ya?"
Nyai Rumi, sesaat menatapku. Namun segera alihkan pandangan ke aspal hitam di bawah roda depan motorku. Aku masih memegang kantong kresek hitam berisi gula dan kopi titipan. Mataku menatap Nyai Rumi. Sepuluh hari, tak kulihat wajah itu. Wajah yang memeluk pilu.
"Untuk apa?"
Nyai Rumi gelengkan kepala. Bergegas ayunkan langkah menjauh. Dan, segera memasuki rumah. Akupun berlalu, dengan aneka pertayaan dan rasa ingin tahu yang bergentayangan di kepalaku.
**
"Aku mau menikah!"
"Hebat!"
"Dengan Rumi!"