Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Komunikasi Bisu, Kompasiana, dan Jalan Sunyi Berbalas Puisi

3 Juli 2019   12:13 Diperbarui: 3 Juli 2019   13:37 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Dokumentasi Pribadi

Dan, Puisi adalah salah satu karya sastra yang menempuh "Jalan Sunyi". Berkali efektif dihadapkan dengan komunikasi bisu. Menjadi olahrasa dan olahcipta berbentuk "perlawanan, juga gugatan" terhadap kekerasan. Peredam makian kasar yang menodai psikis, memendam kekerasan yang melukai fisik. Orasi saat demontrasi pun, acapkali diwarnai dengan pembacaan puisi.

Subcomandante Marcos di Mexico dengan jargon "kata adalah senjata", atau karya-karya dari sastrawan angkatan '45. Kukira cukup menggambarkan, bahwa jalan sunyi sastra merupakan alat penumpasan kondisi yang banal dan majal, agar tak lagi mampat dan jalan di tempat.

illustrated by pixabay.com
illustrated by pixabay.com

biarkan kata-kata menempuh cara, di antara semesta makna

mengeja riuh paduan bunyi, di antara pertengkaran rasa, asa dan cinta.

Puisi, Jalan Sunyi Berbentuk Bunyi
Ketika Seno Gumira Ajidarma menyatakan "Jika Jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara", pada saat itu, kukira, Seno membahasakan karya sastra termasuk puisi adalah "media" sebagai wujud perlawanan terhadap kontrol pers penguasa.

Dalam tubuh sastra sendiri, perlawanan itu juga terjadi. Semisal "pemberontakan" Chairil Anwar terhadap keteraturan puisi 4 baris. Atau Sutardji Calzoum Bachri yang "membebaskan" kata dari makna. Jika menyimak pembacaan puisi Sutardji,akan terbuai alunan puisi bak mantra.

Joko Pinurbo pun menyatakan puisi itu adalah "bunyi". Bisa dimaknai bunyi apa saja yang dialami, dijumpai, dirasakan atau yang dipikirkan bisa juga hasil perenungan oleh peciptanya.

Bunyi itu kemudian dihadirkan dalam bentuk tulisan. Tak sembarang tulisan! Seumpama yang berseliweran di media social. Lagi, Seno Gumira Ajidarma mengatakan, tulisan di media social hanyalah bentuk lain dari tradisi lisan. Hanya bentuk "cetak" dari mulut saja. Jadi, tak ada hubungan dengan sastra, sebagai bagian dari budaya menulis dan membaca. Nah!

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Kreasi Meretas Bunyi Menjadi Aksi Berbalas Puisi
Kompasiana, salah satu yang menyediakan jalan sunyi itu. Aneka genre tulisan dengan pilihan kanal, disajikan ratusan Kompasianer setiap hari. Berbagai corak pemikiran, ide dan gagasan, juga kritik atau fenomena social, dengan berbagai motivasi menulis, bahkan dalam hitungan menit! Dihadirkan silih berganti, tak berhenti.

Kenapa jalan sunyi? Jika terjadi perbedaan, "keriuhan" hanya terjadi pada "perang" opini, argumentasi dan narasi. Jika pun ada, itu tersaji di kolom komentar. Komentar pedas bisa saja tak dibalas! Jalan sunyi yang melahirkan komunikasi sunyi. Bukan komunikasi bisu seperti tulisan di atas yang tak layak digugu dan ditiru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun