"Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial"Â Goenawan Mohamad
Ketika seseorang tak mampu mengungkapkan ide dan gagasan dalam dirinya. Maka yang lahir adalah kekesalan yang memenuhi hatinya. Kekesalan yang paling mudah adalah dengan makian kasar atau kekerasan fisik.
Menurut Hannah Arendt (Teoretikus Politik Jerman 1906-1975), Kekerasan adalah bentuk komunikasi bisu, acapkali dilakukan oleh orang-orang yang belum memahami dirinya. Dari sisi filsafat, seseorang yang belum selesai dengan dirinya, akan menjadi "ancaman" bagi orang lain.
Ancaman itu, secara tak sadar menjadi aura negatif yang mempengaruhi orang lain saat berinteraksi. Jalinan persahabatan bertukar bentuk menjadi permusuhan, kerinduan menjadi kebencian, dan kebahagiaan menjadi penderitaan.
Orang-orang yang terkurung dalam komunikasi bisu, akhirnya terjebak dalam penguasaan amarah. Jika bentuk komunikasi bisu itu adalah kekerasan berupa satu gelas kaca. Tak akan pernah ada penyelesaian masalah jika "diadu" dengan gelas yang lain. Pecahan-pecahan gelas kaca tersebut, bakal menghadirkan "anak-anak" masalah yang semakin banyak.
Sehingga butuh adanya pemantik baru, agar orang-orang tersebut terlepas dari jeratan dan belenggu amarah dalam perangkap komunikasi bisu.
biarkan larik-larik puisi menyepi, menempuh jalan-jalan sunyi
menguji dan menyigi ragam diksi, menebar warna-warni pelangi arti.
Perlawanan Jalan Sunyi Sastra Terhadap Komunikasi Bisu
Ada istilah "sastra adalah pelembut jiwa", dan aku salah satu yang sepakat dengan istilah itu. Parameter sederhananya, banyak kulihat penggiat sastra yang "terperangkap" pada raga yang kasat mata sangar, namun memiliki sentuhan midas yang merontokkan hati para bidadari yang turun menyertai embun di pagi hari. Ahaaay...
Dan, Puisi adalah salah satu karya sastra yang menempuh "Jalan Sunyi". Berkali efektif dihadapkan dengan komunikasi bisu. Menjadi olahrasa dan olahcipta berbentuk "perlawanan, juga gugatan" terhadap kekerasan. Peredam makian kasar yang menodai psikis, memendam kekerasan yang melukai fisik. Orasi saat demontrasi pun, acapkali diwarnai dengan pembacaan puisi.
Subcomandante Marcos di Mexico dengan jargon "kata adalah senjata", atau karya-karya dari sastrawan angkatan '45. Kukira cukup menggambarkan, bahwa jalan sunyi sastra merupakan alat penumpasan kondisi yang banal dan majal, agar tak lagi mampat dan jalan di tempat.
biarkan kata-kata menempuh cara, di antara semesta makna
mengeja riuh paduan bunyi, di antara pertengkaran rasa, asa dan cinta.
Puisi, Jalan Sunyi Berbentuk Bunyi
Ketika Seno Gumira Ajidarma menyatakan "Jika Jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara", pada saat itu, kukira, Seno membahasakan karya sastra termasuk puisi adalah "media" sebagai wujud perlawanan terhadap kontrol pers penguasa.
Dalam tubuh sastra sendiri, perlawanan itu juga terjadi. Semisal "pemberontakan" Chairil Anwar terhadap keteraturan puisi 4 baris. Atau Sutardji Calzoum Bachri yang "membebaskan" kata dari makna. Jika menyimak pembacaan puisi Sutardji,akan terbuai alunan puisi bak mantra.
Joko Pinurbo pun menyatakan puisi itu adalah "bunyi". Bisa dimaknai bunyi apa saja yang dialami, dijumpai, dirasakan atau yang dipikirkan bisa juga hasil perenungan oleh peciptanya.
Bunyi itu kemudian dihadirkan dalam bentuk tulisan. Tak sembarang tulisan! Seumpama yang berseliweran di media social. Lagi, Seno Gumira Ajidarma mengatakan, tulisan di media social hanyalah bentuk lain dari tradisi lisan. Hanya bentuk "cetak" dari mulut saja. Jadi, tak ada hubungan dengan sastra, sebagai bagian dari budaya menulis dan membaca. Nah!
Kompasiana, salah satu yang menyediakan jalan sunyi itu. Aneka genre tulisan dengan pilihan kanal, disajikan ratusan Kompasianer setiap hari. Berbagai corak pemikiran, ide dan gagasan, juga kritik atau fenomena social, dengan berbagai motivasi menulis, bahkan dalam hitungan menit! Dihadirkan silih berganti, tak berhenti.
Kenapa jalan sunyi? Jika terjadi perbedaan, "keriuhan" hanya terjadi pada "perang" opini, argumentasi dan narasi. Jika pun ada, itu tersaji di kolom komentar. Komentar pedas bisa saja tak dibalas! Jalan sunyi yang melahirkan komunikasi sunyi. Bukan komunikasi bisu seperti tulisan di atas yang tak layak digugu dan ditiru.
Jalan sunyi Kompasiana menghapus keterbatasan jarak, ruang dan waktu. Para penulis di kanal fiksi, mengubah komunikasi dan interaksi sunyi menjadi aksi bersama. Kukira bukan yang pertama.
"Puisi Berbalas" menjadi pemintas jalan yang lugas. Digagas awal oleh  Mbak Anis Hidayati, didampingi Pakdhe Ropingi, dihimpun oleh Mbak Zahrotul Mujahidah, Mbak Ecy dan Mas Bryan Jati Pratama yang kuanggap sebagai dokter, bidan dan perawat.
Maka lahirlah Aksi bersama 26 Kompasianers berbentuk buku Antologi Puisi Berbalas. Melibatkan nama beken di kanal fiksi Kompasiana. Di antaranya Mbak Lilik Fatimah Azzahrah, Bang Rifan Nazif, Kang Marakara, Mas Syahrul Chelsky, Mas Ikhlas (Julak Anum), Mbak Swarna hati serta Mbak Niek Ummu el Hakim.
Salam hormat dan tahniah untuk penggagas serta semua pribadi yang terlibat di karya bersama itu. Mampu meretas jalan sunyi puisi menjadi ruang-ruang kreativitas baru. Menyintas keterbatasan jarak, ruang dan waktu. Bukan berwujud komunikasi bisu yang pedas dan cadas. Tapi berbentuk "Antologi Puisi Berbalas".
Tak mungkin berwujud buku, tanpa Kompasiana sebagai rumah bersama. Pun sebagai titik temu sekaligus pemacu terhimpunnya karya-karya itu.
Terima kasihku untuk semua teman-teman dan Kompasiana! Hayuk salaman...
Curup, 03.07.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca:
whiteboardjournal.com
library.uinsby.ac.id
id.wikipedia.org/wiki/Hannah_Arendt