Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Akibat Dialog Bertele-tele

22 Juni 2019   08:12 Diperbarui: 22 Juni 2019   10:36 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Dianggap Dialog Bertele-tele
Dari dialog di atas, setelah mencoba merekayasa beberapa asumsi. Sederhananya, adalah karena dialog itu tidak efektif. si Pembuka komunikasi (Aku) tak jelas memberi arah atau alur dialog. Sehingga membuat lawan bicara (Abang) sudah terlanjur menciptakan beberapa dugaan, yang tanpa sadar menguras energi.

Akhirnya, dialog itu dianggap bertele-tele. Atau tidak jelas arah dan alurnya. Akibatnya? Hadir ketidakjelasan yang berujung pada penolakan. Muncul ketidakjelasan yang berakhir dengan keputusasaan. Lebih gawat lagi, ketidakjelasan itu berujung memutus tali persaudaraan.

Nah! Bertele-tele. Jika akar katanya "tele" dalam bahasa Minang bermakna "teler atau mabuk". Jika dicomot dari bahasa Inggris bermakna "panjang". Kedua rumpun bahasa itu bermakna sama. Artinya, komunikasinya suka "berpanjang-panjang" dan tak jelas seperti ujaran dan igauan seorang pemabuk! Ahaay...

Lah? Bukankah semisal membuka dialog atau komunikasi mesti ada kalimat pengantar atau berbasa-basi dulu, kan? Tak mungkin ujug-ujug langsung straight to point? Basa basi boleh, langsung ke pokok masalah juga tak dilarang. Malah dianjurkan agar segera muncul kejelasan dialog. 

Namun, tuturan basabasi disesuaikan dengan dimensi ruang dan waktu, tah? Misal, antar keduanya memang terpisah jarak yang jauh, atau waktu yang lama tak bertemu. Seperti biasa ditemui di kolom komentar Kompasiana, kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Apatah lagi, jika contoh dialog itu dilakukan melalui media komunikasi atau aneka aplikasi chatting, yang biasanya tersedia di ponsel atau komputer, kan? Misalnya, terjadi pada dialog di bawah ini.


"Salam, Bang!"
"Salam juga?"
"Abang sibuk?"
"Ada apa?"
"Boleh aku cerita, Bang?"
"Tentang apa?"
"Tapi Abang jangan marah, ya?"
"Cerita saja!"
"Abang gak lagi sibuk, kan?"

Tuh! Pernah alami dialog begini saat lakukan chat? Secara tak sadar, si lawan bicara malah diposisikan harus aktif! Padahal, mestinya di posisi pasif, tah? Diam-diam, akan menjengkelkan juga. Apatah lagi, bila situasi dan kondisi tak mendukung untuk melanjutkan dialog itu.

Jadi? Kukira, yang harus dimiliki "kecerdasan" dalam berdialog, tak hanya memilih kata atau susunan kalimat. Namun, juga dibutuhkan kecerdasan menentuka materi, arah atau tujuan dari suatu dialog. Tak cukup itu, tentunya kemampuan untuk mengenal dan menilai dimensi ruang dan waktu  yang tepat, kan?

Udah, itu aja! Nanti malah akupun dianggap menulis artikel ini, juga bertele-tele. Hiks...!

Curup, 22.06.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun