Dianggap Dialog Bertele-tele
Dari dialog di atas, setelah mencoba merekayasa beberapa asumsi. Sederhananya, adalah karena dialog itu tidak efektif. si Pembuka komunikasi (Aku) tak jelas memberi arah atau alur dialog. Sehingga membuat lawan bicara (Abang) sudah terlanjur menciptakan beberapa dugaan, yang tanpa sadar menguras energi.
Akhirnya, dialog itu dianggap bertele-tele. Atau tidak jelas arah dan alurnya. Akibatnya? Hadir ketidakjelasan yang berujung pada penolakan. Muncul ketidakjelasan yang berakhir dengan keputusasaan. Lebih gawat lagi, ketidakjelasan itu berujung memutus tali persaudaraan.
Nah! Bertele-tele. Jika akar katanya "tele" dalam bahasa Minang bermakna "teler atau mabuk". Jika dicomot dari bahasa Inggris bermakna "panjang". Kedua rumpun bahasa itu bermakna sama. Artinya, komunikasinya suka "berpanjang-panjang" dan tak jelas seperti ujaran dan igauan seorang pemabuk! Ahaay...
Lah? Bukankah semisal membuka dialog atau komunikasi mesti ada kalimat pengantar atau berbasa-basi dulu, kan? Tak mungkin ujug-ujug langsung straight to point? Basa basi boleh, langsung ke pokok masalah juga tak dilarang. Malah dianjurkan agar segera muncul kejelasan dialog.Â
Namun, tuturan basabasi disesuaikan dengan dimensi ruang dan waktu, tah? Misal, antar keduanya memang terpisah jarak yang jauh, atau waktu yang lama tak bertemu. Seperti biasa ditemui di kolom komentar Kompasiana, kan?
"Salam, Bang!"
"Salam juga?"
"Abang sibuk?"
"Ada apa?"
"Boleh aku cerita, Bang?"
"Tentang apa?"
"Tapi Abang jangan marah, ya?"
"Cerita saja!"
"Abang gak lagi sibuk, kan?"
Tuh! Pernah alami dialog begini saat lakukan chat? Secara tak sadar, si lawan bicara malah diposisikan harus aktif! Padahal, mestinya di posisi pasif, tah? Diam-diam, akan menjengkelkan juga. Apatah lagi, bila situasi dan kondisi tak mendukung untuk melanjutkan dialog itu.
Jadi? Kukira, yang harus dimiliki "kecerdasan" dalam berdialog, tak hanya memilih kata atau susunan kalimat. Namun, juga dibutuhkan kecerdasan menentuka materi, arah atau tujuan dari suatu dialog. Tak cukup itu, tentunya kemampuan untuk mengenal dan menilai dimensi ruang dan waktu  yang tepat, kan?
Udah, itu aja! Nanti malah akupun dianggap menulis artikel ini, juga bertele-tele. Hiks...!
Curup, 22.06.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]