Mohon tunggu...
Zainul Arifin
Zainul Arifin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Semester 4

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menanti "Payung" AI: Target Perpres Rampung September 2025, Realitas Lapangan Lebih Sulit

29 September 2025   22:52 Diperbarui: 29 September 2025   22:52 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Programmeer sedang merumuskan formula untuk AI (Sumber: Pexels/ ThisIsEngineering)

Jakarta, 26 September 2025 --- Pemerintah Indonesia menempatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai salah satu poros transformasi ekonomi digital lima tahun ke depan. Di atas meja regulasi, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang AI diproyeksikan masuk tahap harmonisasi pada penghujung September. Targetnya jelas: memberi kepastian hukum sekaligus arah kebijakan agar inovasi AI tumbuh---tanpa mengorbankan keamanan, etika, dan hak warga. Pernyataan itu berulang ditegaskan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria, yang menyebut draf Perpres sedang disiapkan untuk dibawa ke harmonisasi di akhir bulan ini. 

Namun, kepastian jadwal bukan perkara mudah. Di lapangan, proses administratif dan politik yang melibatkan banyak kementerian/lembaga membuat laju regulasi berjalan tersendat. Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, mengonfirmasi Perpres AI masih menunggu izin prakarsa---tahap krusial sebelum masuk harmonisasi lintas kementerian. Ia mengakui target September sangat ketat, dan secara realistis penyelesaian bisa bergeser ke Oktober 2025. Edwin juga menyinggung luasnya cakupan koordinasi: 41 kementerian/lembaga terlibat dalam pembahasan. Gambaran ini menjelaskan kenapa "deadline" regulasi AI bukan sekadar tenggat teknis, tetapi juga ujian tata kelola lintas sektor. 

Di balik dinamika itu, pemerintah tidak memulai dari nol. Sejak tahun lalu, Indonesia sudah memiliki Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial---dokumen yang memperkenalkan nilai, tata laksana, dan akuntabilitas penggunaan AI bagi penyelenggara sistem elektronik, baik publik maupun privat. Surat edaran tersebut bukan regulasi dengan daya paksa setingkat undang-undang atau Perpres, tetapi menjadi pijakan etik sementara yang relevan menunggu hadirnya payung hukum yang lebih kuat. 

Apa yang Akan Diatur

Arsitektur Perpres AI---menurut penjelasan resmi---akan memuat dua instrumen besar. Pertama, Buku Putih Peta Jalan AI Nasional yang merumuskan visi, sasaran, dan prioritas program lintas sektor; kedua, pedoman keamanan dan keselamatan dalam penggunaan serta pengembangan AI. Keduanya, bila rampung, akan diinkorporasikan ke dalam Perpres agar memiliki kekuatan mengikat dan menjadi rujukan bagi regulator, industri, hingga akademia. Penekanan pada keamanan dan keselamatan ini penting: ia menempatkan risiko---mulai dari bias algoritme, privasi data, hingga potensi penyalahgunaan---sebagai bagian integral dari desain kebijakan, bukan renungan pasca-fakta. 

Dalam beberapa bulan terakhir, diskusi publik juga menyinggung fokus-fokus tematik yang akan disasar peta jalan, selaras dengan prioritas RPJMN 2025--2029. Meski detailnya belum dipublikasikan penuh, arah besar yang dibicarakan berkisar pada penguatan riset, pengembangan talenta, infrastruktur data, dan penerapan AI pada layanan publik strategis---dari kesehatan hingga transportasi. Intinya, AI tidak hanya didekati sebagai teknologi, melainkan sebagai ekosistem yang menuntut kesiapan SDM, standar, dan tata kelola. 

Jalan Panjang Harmonisasi

Harmonisasi regulasi adalah fase paling "sunyi" namun menentukan. Di sinilah pasal-pasal Perpres harus berpaut rapi dengan regulasi sektoral: perlindungan data, keamanan siber, layanan keuangan, kesehatan, hingga hak kekayaan intelektual. Tanpa jahitan yang rapi, Perpres berisiko tumpang tindih---atau, lebih buruk, memberi isyarat berlawanan antarlembaga. Itulah kenapa izin prakarsa menjadi kunci: ia menandai persetujuan awal agar draf dapat dibedah bersama dan diselaraskan. Komdigi menyatakan draf sudah berjalan, tetapi menunggu "lampu hijau" untuk masuk putaran harmonisasi. Fakta ini menjelaskan kenapa target September kian menipis.

Di balik meja, ada soal kapasitas. Regulasi AI yang efektif membutuhkan literasi teknis regulator: memahami arsitektur model, data pipeline, hingga implikasi keamanan dari pembaruan model. Pemerintah menyebut keterlibatan luas pemangku kepentingan---akademisi, industri, komunitas---untuk menyuplai keahlian dan perspektif. Pendekatan partisipatif ini, jika konsisten, akan memperkecil blind spot kebijakan---misalnya dalam isu transparansi model, audit keadilan algoritme, atau penggunaan data yang sah. 

Kenapa Indonesia Tak Boleh Terlambat

Dinamika global bergerak cepat. Uni Eropa telah menuntaskan EU AI Act dengan pendekatan berbasis risiko; beberapa yurisdiksi lain memilih model sektoral dan pedoman "light-touch" untuk menjaga ruang inovasi. Indonesia tentu punya konteks berbeda---kemajemukan sosial, kesenjangan literasi digital, dan struktur industri yang unik---tetapi benchmark internasional memberi kaca pembesar: regulasi yang terlalu ketat bisa mencekik startup; terlalu longgar, membuka celah penyalahgunaan. Menemukan titik keseimbangan adalah pekerjaan rumah terbesar. 

Tiga Pertanyaan Kritis Sebelum Perpres Disahkan

Pertama, bagaimana memastikan akuntabilitas tanpa memberatkan inovasi? Perpres perlu memandatkan prinsip transparansi dan pelaporan yang proporsional---misalnya, dokumentasi dataset dan model untuk sistem berisiko tinggi---namun menghindari beban yang membuat pelaku kecil enggan berinovasi. Pondasinya sudah disinggung di SE 9/2023; Perpres harus mengikatkannya pada kewajiban yang jelas dan terukur. 

Kedua, seberapa kuat mekanisme penegakan? Regulasi hebat tanpa gigi penegakan hanya menjadi naskah normatif. Perpres idealnya mengatur insentif dan sanksi, serta menunjuk otoritas yang bertanggung jawab mengawasi---baik melalui audit berkala maupun mekanisme respons insiden, terutama untuk sistem yang menyentuh layanan publik.

Ketiga, bagaimana desain pembaruan regulasi? AI berubah lebih cepat dibanding siklus kebijakan. Perpres perlu menyediakan mekanisme "update by reference" terhadap standar teknis dan pedoman etika yang berkembang, agar tidak usang menjelang ditandatangani. Di banyak negara, celah ini ditutup lewat rujukan ke standar internasional dan forum multi-pihak yang diperbarui berkala.

Ketiganya tak bisa berdiri sendiri. Akuntabilitas butuh pengawasan, dan pengawasan butuh kapasitas teknis: talenta, anggaran, dan infrastruktur uji. Di sini, kolaborasi dengan kampus dan komunitas riset bisa menjadi pengungkit---sebagaimana terlihat dalam rangkaian konsultasi publik peta jalan dan penekanan literasi AI yang dibangun pemerintah bersama mitra akademik. 

Ruang Publik: Dari Antusiasme ke Kecemasan

Di ruang publik, AI disambut antusias---dari otomatisasi layanan pelanggan sampai analitik kesehatan---namun juga memantik kecemasan. Praktik deepfake, disinformasi berbasis model generatif, hingga potensi diskriminasi algoritmik menjadi sorotan. Perpres AI akan diuji oleh kemampuannya melindungi warga tanpa menghentikan laju inovasi. Pengalaman dua tahun terakhir menunjukkan, ketika arahan etik tak diikuti perangkat pengawasan, celah penyalahgunaan mudah membesar. Dengan Perpres, publik berharap standar etik naik kelas menjadi kewajiban yang dapat diuji---melalui audit independen, uji dampak, atau kewajiban notifikasi pada insiden besar. 

Politik Regulasi dan Momentum

Tata kelola AI bukan hanya teknokrasi; ia juga politik kebijakan. Kementerian dan lembaga memiliki mandat berbeda, bahkan kadang saling beririsan. Harmonisasi karenanya membutuhkan arbitrase kebijakan yang tegas. Di sinilah kepemimpinan Menkomdigi Meutya Hafid dan jajaran kabinet menjadi penentu: apakah proses lintas lembaga bisa dipadatkan tanpa mengorbankan kualitas, atau kembali terurai dalam rapat-rapat yang berjalan panjang. Komdigi telah mengirim sinyal siap masuk pembahasan prinsip legal; yang ditunggu kini adalah percepatan "green light" administrasi. 

Jika Target Meleset, Apa Konsekuensinya?

Keterlambatan bukan sekadar soal reputasi pemerintah terhadap jadwalnya sendiri. Di tingkat industri, ketidakpastian regulasi membuat perencanaan investasi sulit diputuskan; di sisi publik, ketidakpastian perlindungan memperlebar ruang risiko. Sinyal dari pejabat teknis bahwa penyelesaian mungkin bergeser ke Oktober patut dibaca sebagai ajakan realistis: lebih baik melambat sejenak demi kualitas, daripada tergesa dan menyisakan lubang hukum yang sulit ditambal. Tentu, komunikasi yang transparan ke publik menjadi penting agar proses ini tidak menimbulkan kebingungan.

Penutup: Menenun Aturan di Atas Gelombang

Regulasi AI adalah pekerjaan menenun di atas gelombang: teknologinya bergerak, ekspektasi publik meninggi, dan kepentingan sektor bertaut tak selalu searah. Tetapi menunda terlalu lama juga berisiko: ruang abu-abu membuat pemain bereksperimen tanpa pagar, sementara korban pertama selalu masyarakat.

Jika akhir September ini Perpres AI belum juga menyeberang ke tahap harmonisasi terakhir, Oktober menjadi momentum pengganti yang tak boleh terlewat. Pemerintah telah menyiapkan fondasi---peta jalan, pedoman keamanan, etika, dan konsultasi publik---sehingga jarak menuju penetapan seharusnya tinggal ditentukan oleh ketegasan koordinasi dan kesiapan penegakan. Ketika Perpres akhirnya diteken, indikator keberhasilannya bukan pada seremoni, melainkan pada seberapa jelas, terukur, dan dapat ditegakkan kewajiban-kewajiban yang diembannya---agar AI benar-benar menghadirkan kemajuan yang adil bagi semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun