Jakarta, 26 September 2025 --- Pemerintah Indonesia menempatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai salah satu poros transformasi ekonomi digital lima tahun ke depan. Di atas meja regulasi, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang AI diproyeksikan masuk tahap harmonisasi pada penghujung September. Targetnya jelas: memberi kepastian hukum sekaligus arah kebijakan agar inovasi AI tumbuh---tanpa mengorbankan keamanan, etika, dan hak warga. Pernyataan itu berulang ditegaskan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria, yang menyebut draf Perpres sedang disiapkan untuk dibawa ke harmonisasi di akhir bulan ini.Â
Namun, kepastian jadwal bukan perkara mudah. Di lapangan, proses administratif dan politik yang melibatkan banyak kementerian/lembaga membuat laju regulasi berjalan tersendat. Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, mengonfirmasi Perpres AI masih menunggu izin prakarsa---tahap krusial sebelum masuk harmonisasi lintas kementerian. Ia mengakui target September sangat ketat, dan secara realistis penyelesaian bisa bergeser ke Oktober 2025. Edwin juga menyinggung luasnya cakupan koordinasi: 41 kementerian/lembaga terlibat dalam pembahasan. Gambaran ini menjelaskan kenapa "deadline" regulasi AI bukan sekadar tenggat teknis, tetapi juga ujian tata kelola lintas sektor.Â
Di balik dinamika itu, pemerintah tidak memulai dari nol. Sejak tahun lalu, Indonesia sudah memiliki Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial---dokumen yang memperkenalkan nilai, tata laksana, dan akuntabilitas penggunaan AI bagi penyelenggara sistem elektronik, baik publik maupun privat. Surat edaran tersebut bukan regulasi dengan daya paksa setingkat undang-undang atau Perpres, tetapi menjadi pijakan etik sementara yang relevan menunggu hadirnya payung hukum yang lebih kuat.Â
Apa yang Akan Diatur
Arsitektur Perpres AI---menurut penjelasan resmi---akan memuat dua instrumen besar. Pertama, Buku Putih Peta Jalan AI Nasional yang merumuskan visi, sasaran, dan prioritas program lintas sektor; kedua, pedoman keamanan dan keselamatan dalam penggunaan serta pengembangan AI. Keduanya, bila rampung, akan diinkorporasikan ke dalam Perpres agar memiliki kekuatan mengikat dan menjadi rujukan bagi regulator, industri, hingga akademia. Penekanan pada keamanan dan keselamatan ini penting: ia menempatkan risiko---mulai dari bias algoritme, privasi data, hingga potensi penyalahgunaan---sebagai bagian integral dari desain kebijakan, bukan renungan pasca-fakta.Â
Dalam beberapa bulan terakhir, diskusi publik juga menyinggung fokus-fokus tematik yang akan disasar peta jalan, selaras dengan prioritas RPJMN 2025--2029. Meski detailnya belum dipublikasikan penuh, arah besar yang dibicarakan berkisar pada penguatan riset, pengembangan talenta, infrastruktur data, dan penerapan AI pada layanan publik strategis---dari kesehatan hingga transportasi. Intinya, AI tidak hanya didekati sebagai teknologi, melainkan sebagai ekosistem yang menuntut kesiapan SDM, standar, dan tata kelola.Â
Jalan Panjang Harmonisasi
Harmonisasi regulasi adalah fase paling "sunyi" namun menentukan. Di sinilah pasal-pasal Perpres harus berpaut rapi dengan regulasi sektoral: perlindungan data, keamanan siber, layanan keuangan, kesehatan, hingga hak kekayaan intelektual. Tanpa jahitan yang rapi, Perpres berisiko tumpang tindih---atau, lebih buruk, memberi isyarat berlawanan antarlembaga. Itulah kenapa izin prakarsa menjadi kunci: ia menandai persetujuan awal agar draf dapat dibedah bersama dan diselaraskan. Komdigi menyatakan draf sudah berjalan, tetapi menunggu "lampu hijau" untuk masuk putaran harmonisasi. Fakta ini menjelaskan kenapa target September kian menipis.
Di balik meja, ada soal kapasitas. Regulasi AI yang efektif membutuhkan literasi teknis regulator: memahami arsitektur model, data pipeline, hingga implikasi keamanan dari pembaruan model. Pemerintah menyebut keterlibatan luas pemangku kepentingan---akademisi, industri, komunitas---untuk menyuplai keahlian dan perspektif. Pendekatan partisipatif ini, jika konsisten, akan memperkecil blind spot kebijakan---misalnya dalam isu transparansi model, audit keadilan algoritme, atau penggunaan data yang sah.Â
Kenapa Indonesia Tak Boleh Terlambat
Dinamika global bergerak cepat. Uni Eropa telah menuntaskan EU AI Act dengan pendekatan berbasis risiko; beberapa yurisdiksi lain memilih model sektoral dan pedoman "light-touch" untuk menjaga ruang inovasi. Indonesia tentu punya konteks berbeda---kemajemukan sosial, kesenjangan literasi digital, dan struktur industri yang unik---tetapi benchmark internasional memberi kaca pembesar: regulasi yang terlalu ketat bisa mencekik startup; terlalu longgar, membuka celah penyalahgunaan. Menemukan titik keseimbangan adalah pekerjaan rumah terbesar.Â