Mohon tunggu...
Zahrah Izzati
Zahrah Izzati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

[Review Novel] Kambing dan Hujan: Interpretasi NU vs Muhammadiyah

20 Juli 2017   10:51 Diperbarui: 20 Juli 2017   11:15 2139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Judul                : Kambing & Hujan

Penulis             : Mahfud Ikhwan

Editor               : Achmad Zaki

Penerbit            : Bentang Pustaka

Cetakan I          : Mei 2015

Tebal                : vi + 374 halaman

ISBN                : 978-602-291-027-5

Di awali dengan drama cinta antara Mif dan Fauzia, saya sempat menyangka bahwa novel ini menceritakan kisah klasik ala Romeo Juliet. Lanjut membaca ke halaman berikutnya saya menemukan lapisan demi lapisan cerita yang dikupas perlahan, menarik sekaligus membuat penasaran. Ternyata novel ini tidak berkisah tentang cinta belaka. Kisah cinta antara Mif dan Fauzia yang diceritakan didepan seolah sebuah gerbang untuk menelusuri sejarah panjang nan rumit tentang masyarakat Tegal Centong, khususnya dalam hal beragama. Dan yang tak kalah menarik adalah kisah persahabatan Moek dan Is, tokoh yang mengambil peran penting dalam perkembangan agama Islam di tegal centong, sekaligus ayah dari Fauzia dan Mif.

Fauzia dan Mif bertemu pertama kali di dalam bus menuju Surabaya. Sama-sama tinggal di Tegal Centong, tidak membuat Fauzia langsung mengenali Mif. Fauzia baru mengingat Mif setelah dia mengenalkan nama dan alamatnya, juga identitasnya sebagai anak utara. Dari sana obrolan mulai mengalir hingga mereka bertukar alamat surel. Perkenalan mereka berlanjut ketika Mif mengirimkan surel yang meminta pendapat Fauzia tentang esai yang ditulisnya. Tanpa meminta persetujuan, Fauzia mengirimkan esai itu ke sebuah surat kabar dan akhirnya dimuat. Singkat cerita hubungan mereka berlanjut menjadi hubungan asmara hingga keduanya memutuskan untuk menikah dan harus meminta restu kepada orang tua masing-masing. Dari sanalah cerita sesungguhnya dimulai.

Mif dan Fauzia menyadari perjuangan mereka untuk meminta restu tidak akan mudah mengingat perbedaan yang ada di antara mereka. Mif adalah anak Centong Utara sedangkan Fauzia anak Centong Selatan. Orang Centong Selatan adalah penganut Islam tradisional, sedang orang Centong utara adalah penganut Islam pembaharu. Terlebih lagi karena orang tua mereka adalah tokoh yang disegani, yang berasal dari dua kubu yang berbeda tersebut. Keberanian mereka untuk meminta restu akhirnya mengungkap cerita sejarah panjang orang tua mereka yang tidak sekedar 'berbeda'.

Di masa kecilnya, Moek dan Is adalah sahabat yang kental. Mat sering mengikuti Is menggembalakan kambingnya. Merekapun punya tempat rahasia, bernama Gumuk Genjik, dimana mereka biasa menggembalakan kambing-kambingnya sambil berbincang akrab. Mereka mulai berpisah ketika Moek memutuskan untuk mondok, sedangkan Is yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, memutuskan untuk belajar agama secara otodidak melalui kitab-kitab yang dibelinya juga dengan gurunya Cak Ali. Jika pulang dari pondok Moek selalu menemui Is, mereka saling bertukar kabar dan perkembangan masing-masing, juga berdebat tentang berbagai permasalahan agama dengan pandangan mereka yang mulai berbeda.

Singkat cerita akhirnya Moek dan Is berada dalam dua kubu yang bersebrangan. Is dengan semangat menggebu bersama gurunya Cak Ali dan teman-temannnya adalah tokoh penting Islam pembaharu. Sedangkan Moek yang belajar di pondok pesantren akhirnya dipanggil oleh orang tuanya dan diminta menjadi pemimpin Islam tradisional di Centong. Yang di kemudian hari dua kelompok tersebut lebih dikenal dengan Centong Utara dan Centong Selatan.

Di tengah perbedaan itu persahabatan Moek dan Is terus berlanjut. Diam-diam mereka saling mengagumi perkembangan masing-masing, namun di lain sisi mereka juga saling berusaha menarik satu sama lain ke dalam kelompoknya. Hal itulah yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman, ada rasa tersinggung dan gengsi yang akhirnya membuat mereka enggan untuk bertemu hingga bertahun-tahun kedepan.

Selain tokoh Mat dan Is, diceritakan pula tokoh-tokoh lain yang tak kalah berpengaruh dalam cerita ini. Cak Ali, sebagai guru Is dan penggerak pemuda centong utara dengan cita-cita dan semangatnya yang menggebu. Mas Ali, seorang teman yang dikagumi Moek dengan ilmunya yang dalam dan pemikirannya yang terbuka. Anwar, saudara dari Moek dan Is yang mencoba mengambil sikap netral, tapi malah dimusuhi kedua kubu dan akhirnya pergi ke Brunei. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut di dalam cerita berhasil memberikan sudut pandang lain tentang permasalahan yang terjadi di Tegal Centong.

Kisah persahabatan Moek dan Is terasa lebih mendominasi dan terkesan 'romantis' dibandingkan kisah cinta Mif dan Fauzia yang menurut saya biasa saja. Bagaimana sebenarnya mereka tetap saling menyayangi dan mengagumi, namun terhalang tembok keangkuhan masing-masing. Hingga akhirnya anak-anak merekalah yang menjadi jalan untuk berbaikan kembali.

Keberanian Mahfud Ikhwan mengangkat isu sensitif tentang perbedaan NU dan Muhammadiyah, dan permasalahan klasik yang menyertainya menjadi daya tarik tersendiri dalam novel ini. Dengan cerita persahabatan antara Moek dan Is, serta kehidupan masyarakat Centong, Mahfud berhasil memaparkan pemikiran dari dua sudut pandang berbeda tanpa terasa menghakimi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun