Mohon tunggu...
Zahrah Izzati
Zahrah Izzati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

[Review Novel] Kambing dan Hujan: Interpretasi NU vs Muhammadiyah

20 Juli 2017   10:51 Diperbarui: 20 Juli 2017   11:15 2139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Singkat cerita akhirnya Moek dan Is berada dalam dua kubu yang bersebrangan. Is dengan semangat menggebu bersama gurunya Cak Ali dan teman-temannnya adalah tokoh penting Islam pembaharu. Sedangkan Moek yang belajar di pondok pesantren akhirnya dipanggil oleh orang tuanya dan diminta menjadi pemimpin Islam tradisional di Centong. Yang di kemudian hari dua kelompok tersebut lebih dikenal dengan Centong Utara dan Centong Selatan.

Di tengah perbedaan itu persahabatan Moek dan Is terus berlanjut. Diam-diam mereka saling mengagumi perkembangan masing-masing, namun di lain sisi mereka juga saling berusaha menarik satu sama lain ke dalam kelompoknya. Hal itulah yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman, ada rasa tersinggung dan gengsi yang akhirnya membuat mereka enggan untuk bertemu hingga bertahun-tahun kedepan.

Selain tokoh Mat dan Is, diceritakan pula tokoh-tokoh lain yang tak kalah berpengaruh dalam cerita ini. Cak Ali, sebagai guru Is dan penggerak pemuda centong utara dengan cita-cita dan semangatnya yang menggebu. Mas Ali, seorang teman yang dikagumi Moek dengan ilmunya yang dalam dan pemikirannya yang terbuka. Anwar, saudara dari Moek dan Is yang mencoba mengambil sikap netral, tapi malah dimusuhi kedua kubu dan akhirnya pergi ke Brunei. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut di dalam cerita berhasil memberikan sudut pandang lain tentang permasalahan yang terjadi di Tegal Centong.

Kisah persahabatan Moek dan Is terasa lebih mendominasi dan terkesan 'romantis' dibandingkan kisah cinta Mif dan Fauzia yang menurut saya biasa saja. Bagaimana sebenarnya mereka tetap saling menyayangi dan mengagumi, namun terhalang tembok keangkuhan masing-masing. Hingga akhirnya anak-anak merekalah yang menjadi jalan untuk berbaikan kembali.

Keberanian Mahfud Ikhwan mengangkat isu sensitif tentang perbedaan NU dan Muhammadiyah, dan permasalahan klasik yang menyertainya menjadi daya tarik tersendiri dalam novel ini. Dengan cerita persahabatan antara Moek dan Is, serta kehidupan masyarakat Centong, Mahfud berhasil memaparkan pemikiran dari dua sudut pandang berbeda tanpa terasa menghakimi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun