Ia duduk sendiri di tepi jendela, memandangi hujan yang turun pelan-pelan, seolah langit tengah mengulang perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Wajahnya biasa saja, datar, tak ada yang istimewa. Tapi matanya... ah, matanya seperti menyimpan sesuatu yang dalam---terlalu dalam untuk dimengerti siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Namanya Raka. Laki-laki yang mungkin tak akan kau ingat jika hanya bertemu sekali. Tapi di balik ketenangannya, tersimpan sebuah kisah yang hanya diceritakan pada langit malam, pada suara hujan, dan pada Tuhan.
Ia pernah jatuh cinta. Sekali saja. Tapi cinta itu tidak pernah habis, tidak pernah surut. Seperti laut yang diam tapi dalam, seperti api yang kecil tapi tak pernah padam. Namanya Anya. Perempuan dengan senyum yang tak pernah bisa ia lupakan, bahkan setelah bertahun-tahun.
Dulu, mereka sering bertemu. Tidak ada janji, tidak ada kata cinta, hanya percakapan ringan dan tawa yang bersahaja. Tapi justru di situlah segalanya bermula. Cinta itu tumbuh bukan karena hal-hal besar, tapi dari kebiasaan kecil yang tak pernah ia sadari sebagai kehilangan---sampai semuanya benar-benar hilang.
Hari itu, hari terakhir mereka bertemu, langit juga mendung seperti hari ini. Anya tidak menangis, tidak pula marah. Ia hanya berkata bahwa ia harus pergi. Bahwa ini jalan terbaik, meski tidak mudah. Dan Raka, seperti biasanya, hanya diam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia tak paham, mengapa seseorang bisa pergi jika ia mencintai?
Waktu berlalu. Tidak ada kabar, tidak ada jejak. Mereka menjalani hidup masing-masing, seolah tidak pernah saling mengenal. Tapi Raka tahu, ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. Ia sadar... terlalu terlambat.
Setelah kepergian Anya, barulah ia mengerti. Bahwa senyuman Anya adalah rumah, bahwa tatapan Anya adalah ketenangan, dan bahwa dirinya tak akan pernah bisa jatuh cinta pada siapa pun lagi. Bukan karena ia tidak mau, tapi karena hatinya telah penuh oleh satu nama---Anya.
Kini, setiap malam, kenangan itu datang seperti mimpi yang tak pernah usai. Ia mengingat cara Anya menyebut namanya, mengingat cara ia tertawa, mengingat betapa damainya saat mereka berjalan tanpa tujuan. Dan yang paling ia ingat adalah... keheningan di akhir pertemuan mereka.
Ia baru menyadari, perempuan yang melepaskannya adalah perempuan yang paling mencintainya. Bukan karena ingin pergi, tapi karena tak ingin menjadi beban. Karena ia terlalu mencintai Raka, hingga rela pergi agar ia bisa menemukan sesuatu yang lebih baik. Tapi Raka tidak pernah menemukan itu. Karena yang terbaik... sudah pergi bersamanya.
Dan sejak hari itu, ia menyimpan semuanya sendiri. Tak ada yang tahu. Tidak keluarga, tidak sahabat, bahkan tak ada yang pernah melihatnya benar-benar menangis. Tapi setiap malam, Tuhan mendengarnya. Mendengar bisikan rindu yang tak pernah padam, mendengar doa yang tak pernah selesai.
Raka tidak pernah bisa berhenti mencintai Anya. Ia hanya belajar bagaimana caranya menyimpan cinta itu sendirian. Dalam diam. Dalam penyesalan.