Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Bulan Desember

2 Desember 2021   22:24 Diperbarui: 2 Desember 2021   22:40 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan. Saat itu. Ku ingat deras. Laksana diguyurkan air dari langit malam itu. Jelang pernikahanku denganmu.

Hujan itu membawa kabar bahagia untukku. Dan juga untukmu. 

Doa ku panjatkan agar pada hari H pernikahan, tak hujan deras. Begitu juga ibu dan bapakku. Mendoakan yang sama untuk kelancaran pernikahanku.

Sebuah pernikahan yang diharapkan, tidak hanya aku. Tetapi juga harapan keluarga besarku. Terutama ibu dan bapakku. Saat itu ibu masih membersamaiku di hari bahagiaku.

Aku yakin ibu lega dengan pernikahanku. Karena aku anak yang ragil ini akhirnya akan menikah.

Tetapi, aku tahu ibu sangat merasa agak sedih. Bukan karena aku akan menikah. Tetapi lebih kepada keadaan ibuku yang tak bisa kesana kemari untuk persiapan pernikahanku.

Ibu tak mampu kemana-mana. Hanya bisa berjalan dengan tongkatnya dengan tertatih-tatih. Ibuku stroke.

"Ibu doakan lancar, Ra.. Ibu juga puasa ntuk kelancaran pernikahanmu ini..".

Dengan agak terbata-bata ibu ngendika seperti itu. Ya, tak bisa dipungkiri. Ibuku mendoakan dan melaksanakan laku puasa untukku. Puasa yang aku yakin ibu sudah terbiasa melakukannya.

"Ya, bu..".

Hanya itu yang mampu ku katakan kepada ibu saat itu. Memang ibu sering shalat tahajud, dan puasa.

Dan ketika berdoa sering ku dengar ibu sesenggukan menangis. Aku tak tahu apa yang menjadi doanya. Tapi yang pasti untuk kebaikan hidup dunia dan nanti di akhirat yang abadi.

***

Dua tahun menjalani biduk rumah tangga. Tentu saja sangat tak mudah untuk ku lalui. Apalagi dari pihak suami sudah punya anak.

Mendamaikan dua ego saja sulit. Apalagi ketika sudah ada anak. Tentu saja aku yang belum memiliki anak merasakan sangat berat.

Harusnya aku tak  harus merasa seperti itu. Resiko menikah dengan duda. Itu yang dikatakan orang kepadaku.

Ah, mereka tak tahu seperti apa yang aku lalui. Tuntutan dari suami yang mengharuskan aku selalu mengerti keadaannya. Dia yang pernah gagal. Dia yang memiliki anak. Dia yang memiliki gaji tapi habis untuk anak dan kebutuhannya sendiri.

"Apa aku harus bertanggungjawab kepada suami dan anaknya? Dan aku tak suka kalau dia menyayangiku karena aku mencukupi kebutuhannya.. Dia suami, aku istri.."

Itu setengah ku pertanyakan kepada sahabatku ketika aku menceritakan keluh kesahku. Dan sahabatku, Nika, mengatakan hal yang menurutku akan membuat suamiku tak merasa memiliki tanggungjawab kepadaku.

"Mungkin kalau kamu memberikan yang dibutuhkannya, dia akan manut dan sayang sama kamu, mbak.."

Itu yang dikatakan Nika saat itu. Aku menggelengkan kepalaku.

***

Desember kali ini.

Hujan turun membasahi bumi ini. Memberikan kabar baiknya kepada segenap para petani. Kabar baik untuk segera menanam di tanah olahannya.

Memberikan kabar yang indah kepada tumbuh-tumbuhan. Memberikan segenap kebutuhan airnya setelah masa kemarau. Ah indahnya hujan kali ini untuk mereka.

Lalu, apa kabarnya hujan ini untukku?

Hujan kali ini berbeda dengan waktu itu. Hujan kali ini mungkin membawa tangis sedihku. Yang mungkin suatu saat akan membawa tangis bahagiaku. 

Setelah suamiku sering dan berkali-kali mengucapkan kata pisah dan cerai, aku sudah tak sanggup lagi. Aku tak sanggup menjalani biduk rumah tangga ini. Aku sungguh tak sanggup mempercayainya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun