Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Peran Guru dalam Memotivasi Siswa yang Kurang Tersorot dalam Lomba dan Aktivitas Akademik

14 Oktober 2025   17:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   08:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by AI - Dokumen pribadi

Perpustakaan seringkali menjadi tempat untuk membaca, menyendiri, dan jauh dari hal-hal yang menurut kita kurang nyaman. Dalam beberapa kesempatan saya sering meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan anak didik saya ketika menyepi di perpustakaan.

Ada diskusi dan yang paling sering adalah mereka lebih merasa nyaman untuk mngeluarkan uneg-uneg di tempat ini. Laksana seorang biblioterapis, terkadang saya menawarkan beberapa buku yang related dengan kondisi batin mereka, sembari menyelipkan motivasi untuk menyemangati.

Satu hal yang sering saya dengar adalah mereka merasa minder, tidak percaya diri, dan merasa tidak berguna karena tidak pernah dilibatkan dalam lomba-lomba. Dan ini berdampak pada munculnya penolakan dan keengganan mereka untuk terlibat dalam kompetisi karena merasa tidak pantas.

Saya berusaha memberi support, semangat, dan juga memuji kemampuan yang ada dalam diri mereka dengan harapan mereka punya semangat untuk berkembang dan menguji kemampuan mereka, meskipun tak semua anak mempunyai niat dan kemauan untuk maju dan berkembang. Bagi saya itulah tantangan yang sebenarnya...

Motivasi Sebagai Faktor Penentu Keberhasilan Siswa

Banyak sekolah atau guru cenderung memilih “siswa unggulan” untuk mewakili sekolah dalam lomba akademik atau ekstrakurikuler, sementara siswa-siswa yang juga berpotensi sering kurang diperhatikan. Pola ini bisa melemahkan motivasi belajar bagi siswa yang merasa diabaikan dan menumbuhkan rasa rendah diri.

Melalui tulisan ini saya ingin membahas teori motivasi belajar, menjelaskan dampak seleksi tidak merata dalam konteks lomba terhadap motivasi siswa, dan kemudian menawarkan strategi peran guru agar motivasi belajar dapat ditumbuhkan secara adil untuk semua siswa.

Di akhir pembahasan, tantangan dan rekomendasi praktik juga dikemukakan agar guru dan sekolah dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif, memaksimalkan potensi semua siswa.

Motivasi belajar adalah faktor penentu dalam keberhasilan siswa di sekolah. Tanpa motivasi yang kuat, siswa cenderung pasif, mudah menyerah ketika menghadapi tantangan, dan kehilangan minat untuk berprestasi. Sebaliknya, siswa yang termotivasi tinggi akan lebih berinisiatif, aktif bertanya, dan punya semangat untuk memperbaiki diri.

Namun dalam praktik pendidikan di banyak sekolah, terdapat fenomena bahwa hanya siswa-siswa tertentu, yang sudah dikenal cakap, memiliki prestasi tinggi, atau punya akses dukungan, yang sering dipilih untuk mewakili sekolah dalam lomba.

Siswa lainnya, meski memiliki kemampuan tersembunyi atau potensi, sering luput dari perhatian. Pola “pilih tanding” semacam ini dapat menciptakan ruang tidak adil, melemahkan motivasi anak-anak yang kurang tersorot, dan berdampak pada suasana belajar keseluruhan di kelas.

Guru memegang posisi sangat penting dalam mengubah pola itu menjadi kesempatan yang lebih merata. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga motivator, pembimbing, fasilitator, dan jembatan agar setiap siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berkembang.

Saya mencoba menggabungkan landasan teori motivasi, studi empiris, dan contoh strategi praktis agar guru mampu menjangkau siswa yang selama ini kurang “dipilih” dan memicu motivasi mereka.

Motivasi Belajar & Teori-Teori Pendukung

Sebelum masuk ke konteks lomba dan praktik guru, penting kita ulas kembali teori-teori motivasi belajar yang relevan:

  • Motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri siswa: rasa ingin tahu, minat, tantangan, kepuasan menguasai materi.
  • Motivasi ekstrinsik yang berasal dari faktor luar: penghargaan, pujian, lomba, pengakuan sosial.
  • Self-Determination Theory (Deci & Ryan),  motivasi intrinsik akan tumbuh jika terpenuhi kebutuhan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan sosial (relatedness).
  • Expectancy-Value Theory, siswa akan termotivasi bila mereka percaya bisa berhasil (expectancy) dan nilai dari hasilnya dianggap penting (value).
  • Teori Achievement Motivation (McClelland), siswa dipacu oleh dorongan untuk mencapai sukses dan menghindari kegagalan.

Dalam konteks lomba, elemen kompetisi dan pengakuan bisa menjadi motivator ekstrinsik yang sangat kuat. Namun, bila hanya sekelompok siswa yang dipilih terus-menerus, motivasi bagi siswa yang tidak terpilih bisa melemah, mereka merasa bahwa usaha mereka tak dilihat, bahwa peluang sudah ditentukan di luar kontrol mereka.

Studi Kasus: Seleksi “Siswa Unggulan” dan Dampaknya

Pola Praktik di Sekolah

Dalam banyak sekolah, guru atau panitia lomba cenderung memilih siswa yang sudah memiliki reputasi: nilai tinggi, ikut banyak ekstrakurikuler, atau dikenali aktif di kelas. Alasan yang sering digunakan:

  1. Efisiensi, guru merasa waktu dan sumber daya terbatas, sehingga memilih siswa yang “pasti bisa”.
  2. Risiko minim, lomba dianggap representasi sekolah; bila siswa gagal, nama sekolah bisa disorot negatif.
  3. Kebiasaan lama, tradisi memilih “siswa langganan lomba” secara turun temurun.
  4. Kurangnya pemetaan potensi, guru belum mengenal potensi tersembunyi siswa yang sering tidak menonjolkan diri.

Akibat pola ini bisa bermacam:

  • Siswa yang tidak terpilih kehilangan motivasi untuk berprestasi atau mencoba hal baru.
  • Rasa ketidakadilan muncul di kalangan siswa: “Kenapa A selalu dipilih, padahal aku juga pintar?”
  • Kesenjangan prestasi makin besar: siswa unggulan terus berkembang, sedangkan yang kurang tersorot makin tertinggal.
  • Guru kehilangan kesempatan untuk mengungkap potensi tersembunyi di kelas.

Dampak Motivasi

Bila siswa merasa tidak dilibatkan atau tidak diberi kesempatan berkompetisi, motivasi ekstrinsik (melalui pengakuan) bisa melemah. Jika guru tidak menggantinya dengan motivasi intrinsik, tantangan, relevansi, otonomi, maka siswa bisa menjadi pasif.

Misalnya, siswa yang tidak pernah diberi kesempatan ikut lomba akan cenderung berpikir: “Apa usahaku cukup diakui?” atau “Saya tidak penting.” Akibatnya mereka mungkin enggan bertanya, enggan aktif, atau berpendapat rendah diri.

Peran Guru dalam Memotivasi Siswa yang Kurang Tersorot

Agar pendidikan lebih adil dan semua siswa termotivasi, guru perlu memainkan peran aktif dan reflektif. Berikut beberapa peran dan strategi:

1. Pemetaan Potensi dan Identifikasi Lebih Awal

Guru perlu menyadari bahwa potensi siswa tidak selalu terlihat lewat nilai. Beberapa siswa unggul di kreativitas, logika, argumentasi lisan, atau ketekunan meski lambat. Dengan melakukan observasi, tes minat, atau tugas terbuka, guru bisa mengidentifikasi siswa yang selama ini tersembunyi.

2. Pemberian Kesempatan Rotasi Lomba / Wakil

Daripada selalu memilih kelompok yang sama, guru bisa menerapkan sistem rotasi atau seleksi internal yang adil: misalnya kompetisi kecil di kelas untuk menentukan wakil, atau membagi wakil kelas secara bergiliran. Ini memberi kesempatan pada siswa lain untuk belajar dan tampil.

3. Keterlibatan Siswa dalam Proses Pengambilan Keputusan

Libatkan siswa dalam proses seleksi: minta masukan, voting, atau tanggapan terhadap siapa yang ingin mewakili. Dengan demikian siswa merasa memiliki andil dan bukan hanya objek pilihan.

4. Penguatan Individu dan Apresiasi Non-Prestasi

Saat siswa tidak terpilih, guru harus tetap memberikan apresiasi atas usaha mereka: misalnya pujian, catatan pribadi, tugas lanjutan yang menantang, atau kesempatan tampil di forum kelas. Ini membantu menjaga motivasi intrinsik.

5. Desain Lomba Kelas atau Internal Sekolah

Guru bisa menyelenggarakan lomba atau kompetisi di dalam kelas atau sekolah, sehingga lebih banyak siswa bisa ikut tanpa harus jadi wakil luar. Kompetisi semacam ini bisa berbentuk kuis mingguan, debat kelas, presentasi proyek siswa, atau lomba kreativitas.

6. Penggunaan Strategi Pembelajaran yang Memotivasi

Strategi seperti pembelajaran berbasis game, diskusi, ranking one, gamifikasi, dan proyek kreatif mampu meningkatkan motivasi belajar.

7. Dukungan Emosional dan Hubungan Positif

Banyak siswa memerlukan dukungan moral agar berani tampil. Guru harus membangun komunikasi terbuka: bertanya tantangan siswa dalam mengikuti lomba, memberi saran, dan memotivasi secara personal.

8. Penyesuaian Tantangan dan Target yang Realistis

Setiap siswa memiliki kapasitas berbeda. Guru harus memberikan tantangan yang tidak terlalu sulit, tetapi cukup menantang, agar siswa merasa bisa berhasil. Target lomba atau kompetisi bisa disesuaikan sesuai kemampuan masing-masing.

9. Mentoring Kecil dan Pembinaan Kompetensi

Siswa yang terpilih dan yang belum terpilih bisa dikelompokkan untuk bimbingan: kelompok persiapan lomba, kelompok pengembangan minat, lokakarya keterampilan ekstra. Ini memberi ruang belajar bagi semua siswa.

10. Evaluasi dan Refleksi Terbuka

Setelah lomba, guru bersama siswa bisa melakukan refleksi: apa yang sudah baik, apa yang bisa diperbaiki, bagaimana perasaan siswa tentang proses seleksi, dan bagaimana agar di lomba mendatang lebih inklusif.

Implementasi dalam Bentuk Praktis

Berikut contoh alur implementasi agar seleksi lomba lebih adil:

  1. Pengumuman terbuka bahwa akan ada lomba, dan semua siswa boleh mendaftar atau menunjukkan ketertarikan.
  2. Guru menyusun kriteria seleksi terbuka (bukan hanya nilai tinggi) seperti minat, usaha, kemauan, kehadiran.
  3. Adakan seleksi internal (kuis mini, presentasi singkat) untuk memilih wakil.
  4. Rotasi wakil tiap tahun, yang pernah menjadi wakil bisa digantikan oleh siswa lain tahun berikutnya.
  5. Siswa yang tidak terpilih tetap mendapatkan tugas atau proyek alternatif agar mereka tetap aktif.
  6. Setelah lomba, lakukan evaluasi dan apresiasi umum kepada semua peserta, bukan hanya pemenang.

Tantangan yang Dihadapi Guru & Solusi Praktis

Tantangan

  • Waktu terbatas, di mana banyak guru merasa tidak punya cukup waktu untuk bimbingan individu atau seleksi tambahan.
  • Beban administratif yakni pelaporan, tugas tambahan membuat guru kewalahan.
  • Tekanan prestasi sekolah, bahwa sekolah kadang mengutamakan kemenangan lomba sebagai citra, sehingga memilih siswa yang “aman”.
  • Sumber daya terbatas dengan ralitas bahwa dana, fasilitas, bahan pembelajaran dan pelatihan mungkin kurang memadai.
  • Skeptisisme sebagian siswa yang terjadi karena siswa sudah terbiasa bahwa mereka tidak pernah dipilih, sehingga tidak mau mencoba.
  • Resistensi budaya sekolah akan terus terjadi bila tradisi memilih siswa unggulan sudah mengakar, perubahan butuh waktu dan konsistensi.

Solusi

  • Jadwal bimbingan terstruktur dengan menyisipkan waktu khusus setiap minggu untuk mentoring siswa “non-wakil”.
  • Menyederhanakan administrasi  di mana sekolah membantu guru dalam tugas administratif agar guru punya ruang pengabdian pedagogis.
  • Kampanye budaya inklusif yang dilakunan kepala sekolah dan guru bersama membangun budaya bahwa semua siswa punya potensi.
  • Kolaborasi dengan orang tua dan komunitas dengan harapan dukungan luar bisa membantu pembinaan siswa.
  • Pelatihan guru sebagai langkah strategi motivasi, pengelolaan kelas, dan metode pembelajaran inovatif.
  • Monitoring dan evaluasi dengan terus memantau dampak seleksi inklusif terhadap motivasi dan prestasi siswa.

Fenomena di mana sekolah atau guru hanya memilih “siswa unggulan” untuk lomba berisiko melemahkan motivasi siswa yang kurang terlihat. Padahal, banyak siswa berpotensi besar yang tak tersentuh hanya karena belum diberi kesempatan.

Guru memiliki peran sentral untuk menjembatani ketidaksetaraan ini  dengan memetakan potensi tersembunyi, memberi kesempatan rotasi, mendesain kompetisi kelas, dan membangun hubungan emosional yang mendukung.

Melalui strategi praktis, seleksi terbuka, mentoring, evaluasi bersama, dan inovasi metode, guru bisa menyuburkan motivasi pada seluruh siswa, tidak hanya pada “bintang”. Tantangan pasti ada, mulai dari waktu, beban administratif, hingga budaya prestasi sekolah, tetapi dengan komitmen dan kolaborasi antara guru, sekolah, orang tua, dan siswa, perubahan bisa diwujudkan.

Semoga sharing tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi dan pemicu aksi: agar setiap siswa merasa dihargai, memiliki kesempatan, dan termotivasi untuk mengekspresikan potensi terbaiknya. Salam semangat! (Yy).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun