Di tengah kerlip lampu senja, pengunjung akan disambut oleh aroma kopi klasik dan suara gelas yang beradu ringan. Almedo Pard, anak almarhum Sadikin, menceritakan bahwa ide mendirikan kafe ini lahir dari pengamatan sederhana: sang ayah yang suka melihat ibunya memasak; tiap aroma, tiap rasa, mengandung cinta dan harapan.Â
Dan sekarang, di tangan Almedo, mimpi itu menjadi nyata, tempat di mana kopi bukan sekadar minuman, tetapi medium pertemuan antara seni dan rasa.
Kita sudah bisa sarapan pagi di kafe yang buka pukul 07.00 WIB ini, atau menghabiskan kopi hingga tutup pukul 22.00 WIB.
Sadikin pernah menjual lukisannya hingga mencapai harga fantastis, sebuah bukti bahwa karyanya punya daya tarik tak sekadar visual, tapi emosional. Namun di Ruang Warna, semua lukisan masih menjadi kenangan kolektif, belum ada yang dilepas; karena bagi keluarga Pard, setiap sapuan kuas adalah bagian dari narasi hidup yang tak boleh hilang.
Kisah Sadikin yang lahir tanpa tangan, namun tetap bersahabat dengan kuas lewat kaki dan mulutnya, memancarkan kekuatan tak terlihat. Ia pernah tampil melukis di depan umum, di acara seperti Tong Tong Night Market, didampingi dentuman musik tradisional dan tawa mereka yang menyaksikan bagaimana warna muncul dari keterbatasan.
Almedo menjelaskan bahwa esensi seninya tidak pernah hilang meskipun kini menjadi sebuah kafe. Kehadiran kafe adalah untuk menghidupkan semangat Sadikin Pard dan sebagai perwujudan mimpi-mimpi Sadikin yang belum kesampaian. Lukisan-lukisan dalam galeri ini sebagai kenangan dan warisan yang tak ternilai.
Kelas melukis pun masih berjalan dan dilanjutkan oleh sang kakak, Alrona Setiawan. Putra sulung sang maestro inilah yang melanjutkan warisan sang ayah.