Senja merangkak pelan, cakrawala membara di ufuk barat, sementara angin membawa aroma malam yang lembut. Aku dan ketiga sahabatku melangkah menuju Kedai Ruang Warna, sebuah tempat yang bukan sekadar kafe, tapi galeri kenangan di tengah kota Malang.
Tempat ini adalah wujud dari dedikasi dan mimpi almarhum Sadikin Pard, pelukis difabel kelahiran 29 Oktober 1966 yang melukis menggunakan kaki dan mulut. Meski tanpa tangan, Sadikin tumbuh bukan di antara rasa kekurangan, melainkan di gedung-galeri dan kanvas yang menunggu goresan kakinya.
Sejak di bangku TK, dia sudah mencuri perhatian lewat hobinya menggambar; kemudian belajar sendiri, kemudian menggenggam cita di UMM, dan akhirnya bergabung dengan AMFPA, Asosiasi Internasional Pelukis Mulut dan Kaki.
Galeri dan Kafe Estetik Mimpi Sang Maestro
Galeri Sadikin Pard yang didirikan pada 14 Desember 2019 ini berada di rumahnya sendiri, tepatnya di Jl. Selat Sunda Raya No D5/35, Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang , Jawa Timur.Â
Sebuah tempat di mana keheningan bertemu kreativitas. Di sinilah ia menciptakan karya-karya yang menggugah, memperlihatkan bahwa seni tidak mengenal keterbatasan fisik, tapi mengenal keberanian jiwa.
Kini, keluarga Pard mengubah ruang ini menjadi Kedai Ruang Warna, dengan hadirnya sebuah kafe estetik yang menggabungkan aroma kopi, rasa masakan rumahan, dan warna-warna lukisan yang menari di dinding. Kafe ini resmi dibuka pada 23 Juni 2025 lalu dengan menyajikan menu-menu rumahan yang ngengenin.
Di tiap sudutnya, bait-bait kisah Sadikin masih bergema. Menu yang disajikan, rasa yang tertanam, semuanya membawa jejak hidupnya: ada kehangatan, ada seni, ada kerinduan yang hendak dikenang.
Di tengah kerlip lampu senja, pengunjung akan disambut oleh aroma kopi klasik dan suara gelas yang beradu ringan. Almedo Pard, anak almarhum Sadikin, menceritakan bahwa ide mendirikan kafe ini lahir dari pengamatan sederhana: sang ayah yang suka melihat ibunya memasak; tiap aroma, tiap rasa, mengandung cinta dan harapan.Â
Dan sekarang, di tangan Almedo, mimpi itu menjadi nyata, tempat di mana kopi bukan sekadar minuman, tetapi medium pertemuan antara seni dan rasa.
Kita sudah bisa sarapan pagi di kafe yang buka pukul 07.00 WIB ini, atau menghabiskan kopi hingga tutup pukul 22.00 WIB.
Sadikin pernah menjual lukisannya hingga mencapai harga fantastis, sebuah bukti bahwa karyanya punya daya tarik tak sekadar visual, tapi emosional. Namun di Ruang Warna, semua lukisan masih menjadi kenangan kolektif, belum ada yang dilepas; karena bagi keluarga Pard, setiap sapuan kuas adalah bagian dari narasi hidup yang tak boleh hilang.
Kisah Sadikin yang lahir tanpa tangan, namun tetap bersahabat dengan kuas lewat kaki dan mulutnya, memancarkan kekuatan tak terlihat. Ia pernah tampil melukis di depan umum, di acara seperti Tong Tong Night Market, didampingi dentuman musik tradisional dan tawa mereka yang menyaksikan bagaimana warna muncul dari keterbatasan.
Almedo menjelaskan bahwa esensi seninya tidak pernah hilang meskipun kini menjadi sebuah kafe. Kehadiran kafe adalah untuk menghidupkan semangat Sadikin Pard dan sebagai perwujudan mimpi-mimpi Sadikin yang belum kesampaian. Lukisan-lukisan dalam galeri ini sebagai kenangan dan warisan yang tak ternilai.
Kelas melukis pun masih berjalan dan dilanjutkan oleh sang kakak, Alrona Setiawan. Putra sulung sang maestro inilah yang melanjutkan warisan sang ayah.
Ruang Warna, Ruang Hening yang Hidup
Di Kedai Ruang Warna, kita bisa duduk di kursi kayu sambil meresapi karya-karya yang menghiasi dinding; rasa kopi yang sedikit mantap; sepotong pisang goreng yang hangat; dan rasa bahwa kamu berada di ruang di mana setiap detail warna, rasa, lukisan adalah penghormatan. Bukan hanya terhadap Sadikin Pard, tapi terhadap semua yang pernah merasa tak cukup, namun memilih berkarya.
Kafe yang berada di bawah galeri ini sangat pas bagi yang suka keheningan dengan aura seni yang hangat dan menenangkan. Kita dapat menuangkan ekspresi dalam gambar dan coretan, tinggal membeli kanvas dengan berbagai ukuran, kita dapat menggoreskan kuas dan cat warna yang telah disediakan.
Akhirnya senja pun mengundang malam, lampu-lampu mulai menyala, dan lukisan Sadikin tampak memantulkan kilau temaram. Di balik warna-warni, ada ketulusan; di balik aroma, ada kenangan; di balik diam, ada suara seni yang tak pernah mati.
Ruang Warna bukanlah tempat biasa. Ia adalah ruang di mana mimpi almarhum Sadikin Pard tetap hidup. Dia yang telah berpulang pada 2 Desember 2024, meninggalkan warisan yang tak ternilai: karya, inspirasi, dan kepercayaan bahwa kekurangan fisik tak pernah menjadi akhir dari sebuah dongeng indah. Salam hangat! (Yy).Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI