Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Coexistence di Bumi Andalas: Harapan di Tengah Krisis Gajah Sumatera

4 September 2025   13:30 Diperbarui: 4 September 2025   13:39 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor gajah jinak Taman Nasional Tesso Nilo memandu gajah liar keluar dari perkebunan sawit masyarakat di Desa Lubuk Lawas - Irma Tambunan/Kompas.id

Di belantara Sumatra, suara terompet gajah pernah menjadi nyanyian alam yang menandai keseimbangan. Gajah Sumatra atau Elephas maximus sumatranus, satwa megafauna endemik yang dulu bebas menjelajah hutan, kini menghadapi realitas getir.

Hilangnya hutan akibat ekspansi perkebunan, perambahan, dan pembangunan infrastruktur membuat ruang hidup mereka semakin sempit. Pertemuan gajah dan manusia pun berubah menjadi benturan yang kerap berujung pada luka dan kehilangan di kedua belah pihak.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), populasi gajah sumatra hanya tersisa sekitar 924–1.300 individu yang terbagi ke dalam 22 kantong populasi. Namun, banyak dari kantong itu terfragmentasi, terisolasi, bahkan beberapa di antaranya sudah tidak lagi memiliki gajah.

Gajah Sumatera kini berstatus kritis, dan masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), satu tingkat di bawah status punah di alam liar.

Dalam kurun 2012–2017, sedikitnya 45 ekor gajah mati akibat konflik, sebagian besar karena diracun atau dipasang jerat. Manusia pun tak jarang menjadi korban karena kebun dan permukiman mereka diterjang kawanan gajah yang kelaparan.

Gajah sumatera di PLG Sebanga, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, beberapa waktu lalu.(KOMPAS.COM/IDON)
Gajah sumatera di PLG Sebanga, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, beberapa waktu lalu.(KOMPAS.COM/IDON)

Gajah Sang Tukang Kebun Hutan yang Terlupakan

Kehadiran gajah tidak bisa dipandang sebatas ancaman bagi perkebunan warga. Mereka sesungguhnya adalah “tukang kebun hutan” yang menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan tubuh besarnya, gajah merobohkan pohon tertentu dan membuka kanopi hutan, memungkinkan cahaya masuk bagi tumbuhan baru untuk tumbuh. Biji-biji yang mereka sebar melalui kotorannya juga memperkaya keanekaragaman flora.

Lebih jauh, gajah berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Jalur jelajah mereka membantu menjaga struktur hutan yang menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Hilangnya gajah berarti percepatan degradasi hutan dan ancaman serius bagi stok karbon alami dunia. Dengan kata lain, menyelamatkan gajah sama dengan menjaga penyangga kehidupan manusia.

Konflik yang Tak Terhindarkan

Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan konflik makin sulit dihindari. Di Jambi misalnya, kawanan gajah kerap masuk ke kebun sawit dan merusak tanaman warga. Sawit, dengan buahnya yang manis, memang menjadi daya tarik. Tetapi persoalan sesungguhnya adalah hilangnya jalur jelajah akibat konversi hutan produksi menjadi perkebunan monokultur.

Menurut Zuhra, pegiat lingkungan, izin perhutanan sosial sering kali tidak dikelola sebagaimana mestinya. Hutan produksi yang seharusnya dikelola dengan prinsip keberlanjutan justru ditebang habis dan ditanami sawit. Padahal, jika tata kelola dilakukan dengan benar, jalur gajah bisa dipertahankan sehingga konflik bisa ditekan.

Masalah makin pelik karena lemahnya pengawasan. Gushendra, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Dinas Kehutanan Jambi, mengakui jumlah polisi hutan sangat terbatas. 

Hanya ada sekitar 60 orang untuk mengawasi kawasan hutan lebih dari 1,2 juta hektare. Itu artinya, satu petugas harus mengawasi 20.000 hektare, jelas tugas yang mustahil dilakukan secara efektif.

Seekor gajah Sumatera sedang meragut di hutan - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 
Seekor gajah Sumatera sedang meragut di hutan - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 

Inovasi Teknologi: Bioakustik "Telinga Elektronik" dan GPS Collar

Bioakustik "Telinga Elektronik"

Di tengah tantangan ini, secercah harapan datang dari teknologi. Awal 2024, perangkat pemantau suara berbasis energi surya dipasang di hutan Sumatra. Alat ini merekam suara gajah, mulai dari derap langkah berat hingga terompet peringatan untuk membantu memetakan jalur jelajah mereka. Informasi dari perangkat ini bisa memberi peringatan dini kepada warga jika kawanan gajah mendekat.

Namun, teknologi saja tidak cukup. Pada awal pemasangan, alat-alat ini sering hilang. Bukan karena kerusakan, melainkan diambil oleh warga sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat adalah kunci. Hutan bukanlah ruang kosong, melainkan rumah bagi komunitas perambah, petani ladang berpindah, dan pencari rotan.

Ketika petugas mulai membuka diri, membangun dialog, dan menjalin rasa percaya sebagai sesama penghuni hutan, sikap warga berubah. Mereka mulai mendukung keberadaan perangkat bioakustik, menjaga agar tetap utuh dan berfungsi.

Kini, “telinga elektronik” itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, membantu mencegah konflik tanpa harus menambah ketegangan antara manusia dan gajah.

Pemasangan GPS Collar pada gajah Meisya di Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering (OKI), Sumatera Selatan (15/5/2023).(dok. APP Sinar Mas)
Pemasangan GPS Collar pada gajah Meisya di Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering (OKI), Sumatera Selatan (15/5/2023).(dok. APP Sinar Mas)
GPS Collar

GPS Collar Gajah adalah alat pelacak berbentuk kalung yang dipasang pada leher gajah untuk memantau pergerakannya secara real-time melalui satelit.

Fungsi GPS Collar sangat vital dalam mendukung coexistence:

  • Alat ini dapat melacak pergerakan gajah. Lokasi gajah dapat diketahui secara berkala, datanya terkirim ke server atau tim pemantau. Dengan begitu, pergerakan mereka bisa dipantau tanpa harus mengikuti secara langsung di lapangan.
  • Dapat mencegah interaksi negatif, saat gajah terdeteksi mendekati pemukiman atau area pertanian, tim konservasi dapat segera mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari konflik.
  • Sangat mendukung riset dan perencanaan konservasi. Data dari GPS Collar memberi gambaran tentang pola jelajah, habitat favorit, musim migrasi, hingga ancaman yang dihadapi gajah. Informasi ini krusial untuk menyusun kebijakan konservasi jangka panjang.
  • Dapat memantau kesehatan dan keamanan gajah. Beberapa GPS Collar dilengkapi sensor tambahan, seperti akselerometer atau pemantau suhu tubuh. Alat ini bisa memberi sinyal jika seekor gajah mengalami stres, sakit, atau tidak bergerak dalam waktu lama.

Dengan adanya teknologi GPS Collar, upaya konservasi menjadi lebih modern, efisien, dan berbasis data. Ia melengkapi langkah-langkah berbasis masyarakat seperti agroforestri, sehingga coexistence tidak hanya sebuah konsep ideal, tetapi strategi nyata yang bisa dipraktikkan.

Agroforestri sebuah solusi coexistence di Riau - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 
Agroforestri sebuah solusi coexistence di Riau - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 

Agroforestri Sebagai Jalan Tengah dari Riau

Selain teknologi, solusi coexistence juga lahir dari kearifan lokal yang dikembangkan menjadi program nyata. Di Riau, masyarakat di jalur perlintasan gajah mulai menerapkan sistem agroforestri, mengombinasikan tanaman berkayu seperti petai, durian, matoa, jengkol, kopi, hingga pohon hutan seperti pulai dan mahoni dengan pertanian.

Program agroforestri ini digagas Rimba Satwa Foundation (RSF) bersama PT Pertamina Hulu Rokan di lanskap koridor Balai Raja, Giam Siak Kecil. Bibit ditanam di “Base Camp Rehabilitasi Rumah Kompos dan Pembibitan” Kecamatan Mandau, lalu dibagikan kepada warga. Hingga kini, sekitar 40 kepala keluarga ikut terlibat aktif.

Manfaat agroforestri bersifat multi-dimensi; mengurangi interaksi negatif dengan gajah karena tanaman tidak lagi menarik perhatian mereka, meningkatkan pendapatan ekonomi warga, sekaligus berkontribusi pada penyerapan karbon dan konservasi keanekaragaman hayati.

Lebih penting lagi, agroforestri membuka ruang penerimaan sosial. Gajah tidak lagi dilihat hanya sebagai perusak, melainkan sebagai bagian dari lanskap yang bisa hidup berdampingan dengan manusia.

Tantangan Tata Kelola dan Alternatif Solusi

Meski ada inisiatif positif, tantangan struktural tetap besar. Buruknya tata kelola hutan, lemahnya pengawasan izin perhutanan sosial, dan dominasi sawit membuat ruang gajah kian terdesak. 

Menurut Feri dari Perkumpulan Hijau, pola pengelolaan yang menunggu 25 tahun hingga sawit habis masa panen sebelum dikembalikan ke negara terlalu lambat. Saat itu, jalur gajah sudah telanjur hancur.

Beberapa solusi yang diusulkan adalah penerapan perkebunan multikultur. Misalnya, dari 100 hektare lahan, minimal 10 hektare ditanami tanaman yang tidak disukai gajah. Frankfurt Zoological Society merekomendasikan campuran durian, petai, kopi, dan vanili sebagai pilihan. Kombinasi ini selain bernilai ekonomi, juga mampu mengurangi kerusakan tanaman oleh gajah.

Namun, implementasi di lapangan tidaklah mudah. Ketergantungan warga pada sawit masih tinggi, sehingga butuh dialog panjang dan insentif nyata agar mereka mau beralih ke sistem yang lebih ramah gajah.

Harmoni Harus Dimulai dari Manusia 

Kisah coexistence antara manusia dan gajah sumatra memberi pelajaran berharga. Teknologi canggih seperti bioakustik, dan GPS Collar memang penting, tetapi keberhasilannya tetap bergantung pada niat baik dan kepercayaan antar manusia. 

Program agroforestri di Riau juga menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa memiliki peran, konflik bisa berkurang.

Harapan coexistence bukan sekadar wacana indah. Ia adalah kebutuhan mendesak jika kita ingin mempertahankan gajah sebagai penjaga hutan, penyimpan karbon, sekaligus bagian dari warisan hayati dunia.

Hutan Sumatra mungkin tidak lagi seluas dulu, tetapi pilihan masih ada. Kita bisa membiarkan gajah punah perlahan, atau belajar hidup berdampingan dengan mereka. Coexistence bukan hanya soal menyelamatkan satwa, melainkan juga soal menjaga keberlanjutan hidup kita sendiri. Salam Lestari! (Yy).

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun