Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Coexistence di Bumi Andalas: Harapan di Tengah Krisis Gajah Sumatera

4 September 2025   13:30 Diperbarui: 4 September 2025   13:39 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor gajah jinak Taman Nasional Tesso Nilo memandu gajah liar keluar dari perkebunan sawit masyarakat di Desa Lubuk Lawas - Irma Tambunan/Kompas.id

Masalah makin pelik karena lemahnya pengawasan. Gushendra, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Dinas Kehutanan Jambi, mengakui jumlah polisi hutan sangat terbatas. 

Hanya ada sekitar 60 orang untuk mengawasi kawasan hutan lebih dari 1,2 juta hektare. Itu artinya, satu petugas harus mengawasi 20.000 hektare, jelas tugas yang mustahil dilakukan secara efektif.

Seekor gajah Sumatera sedang meragut di hutan - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 
Seekor gajah Sumatera sedang meragut di hutan - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 

Inovasi Teknologi: Bioakustik "Telinga Elektronik" dan GPS Collar

Bioakustik "Telinga Elektronik"

Di tengah tantangan ini, secercah harapan datang dari teknologi. Awal 2024, perangkat pemantau suara berbasis energi surya dipasang di hutan Sumatra. Alat ini merekam suara gajah, mulai dari derap langkah berat hingga terompet peringatan untuk membantu memetakan jalur jelajah mereka. Informasi dari perangkat ini bisa memberi peringatan dini kepada warga jika kawanan gajah mendekat.

Namun, teknologi saja tidak cukup. Pada awal pemasangan, alat-alat ini sering hilang. Bukan karena kerusakan, melainkan diambil oleh warga sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat adalah kunci. Hutan bukanlah ruang kosong, melainkan rumah bagi komunitas perambah, petani ladang berpindah, dan pencari rotan.

Ketika petugas mulai membuka diri, membangun dialog, dan menjalin rasa percaya sebagai sesama penghuni hutan, sikap warga berubah. Mereka mulai mendukung keberadaan perangkat bioakustik, menjaga agar tetap utuh dan berfungsi.

Kini, “telinga elektronik” itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, membantu mencegah konflik tanpa harus menambah ketegangan antara manusia dan gajah.

Pemasangan GPS Collar pada gajah Meisya di Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering (OKI), Sumatera Selatan (15/5/2023).(dok. APP Sinar Mas)
Pemasangan GPS Collar pada gajah Meisya di Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering (OKI), Sumatera Selatan (15/5/2023).(dok. APP Sinar Mas)
GPS Collar

GPS Collar Gajah adalah alat pelacak berbentuk kalung yang dipasang pada leher gajah untuk memantau pergerakannya secara real-time melalui satelit.

Fungsi GPS Collar sangat vital dalam mendukung coexistence:

  • Alat ini dapat melacak pergerakan gajah. Lokasi gajah dapat diketahui secara berkala, datanya terkirim ke server atau tim pemantau. Dengan begitu, pergerakan mereka bisa dipantau tanpa harus mengikuti secara langsung di lapangan.
  • Dapat mencegah interaksi negatif, saat gajah terdeteksi mendekati pemukiman atau area pertanian, tim konservasi dapat segera mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari konflik.
  • Sangat mendukung riset dan perencanaan konservasi. Data dari GPS Collar memberi gambaran tentang pola jelajah, habitat favorit, musim migrasi, hingga ancaman yang dihadapi gajah. Informasi ini krusial untuk menyusun kebijakan konservasi jangka panjang.
  • Dapat memantau kesehatan dan keamanan gajah. Beberapa GPS Collar dilengkapi sensor tambahan, seperti akselerometer atau pemantau suhu tubuh. Alat ini bisa memberi sinyal jika seekor gajah mengalami stres, sakit, atau tidak bergerak dalam waktu lama.

Dengan adanya teknologi GPS Collar, upaya konservasi menjadi lebih modern, efisien, dan berbasis data. Ia melengkapi langkah-langkah berbasis masyarakat seperti agroforestri, sehingga coexistence tidak hanya sebuah konsep ideal, tetapi strategi nyata yang bisa dipraktikkan.

Agroforestri sebuah solusi coexistence di Riau - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 
Agroforestri sebuah solusi coexistence di Riau - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 

Agroforestri Sebagai Jalan Tengah dari Riau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun