Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Coexistence di Bumi Andalas: Harapan di Tengah Krisis Gajah Sumatera

4 September 2025   13:30 Diperbarui: 4 September 2025   13:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor gajah Sumatera sedang meragut di hutan - Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia 

Selain teknologi, solusi coexistence juga lahir dari kearifan lokal yang dikembangkan menjadi program nyata. Di Riau, masyarakat di jalur perlintasan gajah mulai menerapkan sistem agroforestri, mengombinasikan tanaman berkayu seperti petai, durian, matoa, jengkol, kopi, hingga pohon hutan seperti pulai dan mahoni dengan pertanian.

Program agroforestri ini digagas Rimba Satwa Foundation (RSF) bersama PT Pertamina Hulu Rokan di lanskap koridor Balai Raja, Giam Siak Kecil. Bibit ditanam di “Base Camp Rehabilitasi Rumah Kompos dan Pembibitan” Kecamatan Mandau, lalu dibagikan kepada warga. Hingga kini, sekitar 40 kepala keluarga ikut terlibat aktif.

Manfaat agroforestri bersifat multi-dimensi; mengurangi interaksi negatif dengan gajah karena tanaman tidak lagi menarik perhatian mereka, meningkatkan pendapatan ekonomi warga, sekaligus berkontribusi pada penyerapan karbon dan konservasi keanekaragaman hayati.

Lebih penting lagi, agroforestri membuka ruang penerimaan sosial. Gajah tidak lagi dilihat hanya sebagai perusak, melainkan sebagai bagian dari lanskap yang bisa hidup berdampingan dengan manusia.

Tantangan Tata Kelola dan Alternatif Solusi

Meski ada inisiatif positif, tantangan struktural tetap besar. Buruknya tata kelola hutan, lemahnya pengawasan izin perhutanan sosial, dan dominasi sawit membuat ruang gajah kian terdesak. 

Menurut Feri dari Perkumpulan Hijau, pola pengelolaan yang menunggu 25 tahun hingga sawit habis masa panen sebelum dikembalikan ke negara terlalu lambat. Saat itu, jalur gajah sudah telanjur hancur.

Beberapa solusi yang diusulkan adalah penerapan perkebunan multikultur. Misalnya, dari 100 hektare lahan, minimal 10 hektare ditanami tanaman yang tidak disukai gajah. Frankfurt Zoological Society merekomendasikan campuran durian, petai, kopi, dan vanili sebagai pilihan. Kombinasi ini selain bernilai ekonomi, juga mampu mengurangi kerusakan tanaman oleh gajah.

Namun, implementasi di lapangan tidaklah mudah. Ketergantungan warga pada sawit masih tinggi, sehingga butuh dialog panjang dan insentif nyata agar mereka mau beralih ke sistem yang lebih ramah gajah.

Harmoni Harus Dimulai dari Manusia 

Kisah coexistence antara manusia dan gajah sumatra memberi pelajaran berharga. Teknologi canggih seperti bioakustik, dan GPS Collar memang penting, tetapi keberhasilannya tetap bergantung pada niat baik dan kepercayaan antar manusia. 

Program agroforestri di Riau juga menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa memiliki peran, konflik bisa berkurang.

Harapan coexistence bukan sekadar wacana indah. Ia adalah kebutuhan mendesak jika kita ingin mempertahankan gajah sebagai penjaga hutan, penyimpan karbon, sekaligus bagian dari warisan hayati dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun