Di belantara Sumatra, suara terompet gajah pernah menjadi nyanyian alam yang menandai keseimbangan. Gajah Sumatra atau Elephas maximus sumatranus, satwa megafauna endemik yang dulu bebas menjelajah hutan, kini menghadapi realitas getir.
Hilangnya hutan akibat ekspansi perkebunan, perambahan, dan pembangunan infrastruktur membuat ruang hidup mereka semakin sempit. Pertemuan gajah dan manusia pun berubah menjadi benturan yang kerap berujung pada luka dan kehilangan di kedua belah pihak.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), populasi gajah sumatra hanya tersisa sekitar 924–1.300 individu yang terbagi ke dalam 22 kantong populasi. Namun, banyak dari kantong itu terfragmentasi, terisolasi, bahkan beberapa di antaranya sudah tidak lagi memiliki gajah.
Gajah Sumatera kini berstatus kritis, dan masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), satu tingkat di bawah status punah di alam liar.
Dalam kurun 2012–2017, sedikitnya 45 ekor gajah mati akibat konflik, sebagian besar karena diracun atau dipasang jerat. Manusia pun tak jarang menjadi korban karena kebun dan permukiman mereka diterjang kawanan gajah yang kelaparan.
Gajah Sang Tukang Kebun Hutan yang Terlupakan
Kehadiran gajah tidak bisa dipandang sebatas ancaman bagi perkebunan warga. Mereka sesungguhnya adalah “tukang kebun hutan” yang menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan tubuh besarnya, gajah merobohkan pohon tertentu dan membuka kanopi hutan, memungkinkan cahaya masuk bagi tumbuhan baru untuk tumbuh. Biji-biji yang mereka sebar melalui kotorannya juga memperkaya keanekaragaman flora.
Lebih jauh, gajah berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Jalur jelajah mereka membantu menjaga struktur hutan yang menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Hilangnya gajah berarti percepatan degradasi hutan dan ancaman serius bagi stok karbon alami dunia. Dengan kata lain, menyelamatkan gajah sama dengan menjaga penyangga kehidupan manusia.
Konflik yang Tak Terhindarkan
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan konflik makin sulit dihindari. Di Jambi misalnya, kawanan gajah kerap masuk ke kebun sawit dan merusak tanaman warga. Sawit, dengan buahnya yang manis, memang menjadi daya tarik. Tetapi persoalan sesungguhnya adalah hilangnya jalur jelajah akibat konversi hutan produksi menjadi perkebunan monokultur.
Menurut Zuhra, pegiat lingkungan, izin perhutanan sosial sering kali tidak dikelola sebagaimana mestinya. Hutan produksi yang seharusnya dikelola dengan prinsip keberlanjutan justru ditebang habis dan ditanami sawit. Padahal, jika tata kelola dilakukan dengan benar, jalur gajah bisa dipertahankan sehingga konflik bisa ditekan.