Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Malang Suantai Sayang: Persembahan Sal Priadi pada Rumah yang Memanggilnya Pulang

23 Agustus 2025   08:30 Diperbarui: 24 Agustus 2025   14:17 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut Malang Kayutangan Heritage - Dokumentasi Pribadi 

Ada sesuatu yang membekas dalam ingatanku saat jalan-jalan di kawasan Kayutangan Heritage. Langkahku terhenti di depan sebuah kafe mungil, bukan karena aroma kopinya yang menyeruak, kesibukan pramusajinya, atau riuh pengunjungnya, melainkan mural besar di dindingnya: 

"SAL PRIADI - MALANG SUANTAI SAYANG - KIPA ILAKES, MBOIS ULALES"

Tulisan itu sederhana, tapi seakan mengirim getaran ke dada. Kata-kata itu bukan hanya sebuah goresan cat di kanopi; ia telah menjelma jadi lagu, jadi simbol, bahkan jadi pintu rindu. Dari sanalah Sal Priadi, musisi asal Malang, melahirkan karya penuh cinta untuk kampung halamannya.

Sal merilis single terbarunya berjudul "Malang Suantai Sayang"  pada 15 Agustus 2025, sebuah karya yang lahir dari cinta dan kerinduannya pada kampung halaman; Kota Malang.

Video klip Malang Suantai Sayang ini digarap anak-anak muda bertalenta di kota Malang, sederhana tapi penuh jiwa. Background mural di kafe itu jadi saksi bisu., betapa sebuah ruang kecil bisa menjelma panggung besar bagi budaya pop lokal.

Namun di balik keindahan dan romantisasi Malang dalam lagu itu, aku merasa terusik. Apakah Malang yang kusebut rumah ini masih benar-benar “suantai”?

Sal Priadi - Sumber: IG @sal priadi
Sal Priadi - Sumber: IG @sal priadi

Persembahan Hati dalam Lagu

Sal Priadi menulis lagu itu bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai semacam arsip emosional, sebuah persembahan hati pada kota kelahirannya.

Sal menyimpan memori tentang Malang; tentang keramahan, kenangan, keunikan, dan tentang jalan-jalan juga rumah yang tetap memanggilnya pulang. Ia tuangkan semua dalam lirik-lirik lagunya.

Dalam salah satu baitnya, ia menyanyikan:

Kupersembahkan Malang
Dengan penuh keterusterangan
Tidak ada yang perlu kau takutkan
Kecuali kau habiskan siangmu di Jalan Kawi
Gendutlah, kau gendut
Jatuhlah hatimu
Bila setelah itu kau kejar
Pergi ke bukit-bukit
(Lihat apa di sana?)
Lihat sunset yang cantik

Bait itu terdengar seperti bisikan hangat sebagai sebuah persembahan dari seseorang yang jauh merantau. Aku pun teringat masa-masa ketika lama jauh dari rumah kemudian saat harus pulang ke Malang, muncul rasa yang begitu ringan: udara dingin yang menusuk tapi menenangkan, jalan-jalan kecil yang tak terburu-buru, dan wajah-wajah ramah di warung kopi pinggir jalan.

Tentang keragaman kuliner lokal Malang yang memanjakan perut, tak mungkinlah kita akan kelaparan. Juga tentang keindahan bukit, gunung, dan pantai yang selalu menyuguhkan keindahan pesona alamnya.

Namun terkadang aku bertanya-tanya: masihkah Malang menyimpan kenyamanan yang sama?

Salah satu sudut kampung Malang Kayutangan Heritage - Dokumentasi Pribadi 
Salah satu sudut kampung Malang Kayutangan Heritage - Dokumentasi Pribadi 

Kayutangan: Dari Heritage Jadi Ingar-bingar

Kayutangan Heritage kini menjadi magnet wisata. Jalan kuno dengan bangunan kolonial itu disulap jadi ruang estetik. Kafe-kafe berjejer, lampu-lampu jalan menyalakan suasana romantis, mural-mural tumbuh di setiap sudut.

Salah satunya mural “Malang Suantai Sayang” yang kini dikenal publik bukan hanya sebagai hiasan, tapi sebagai representasi identitas kota yang ditorehkan oleh arek Malang, Sal Priadi.

Aku menyukai sisi artistiknya, tetapi juga merasa ada sesuatu yang tergerus. Kayutangan yang dulu suantai kini tak pernah benar-benar sepi. Orang datang bukan hanya untuk berjalan, melainkan untuk memotret. Mobil dan motor berjejal, jalanan penuh sesak. Aku rindu berjalan santai di Kayutangan tanpa harus menepi dari arus wisatawan.

Mungkin di titik inilah paradoks Malang muncul: kota yang dulu lekat dengan kata suantai kini makin padat, makin bising, makin tergesa-gesa.

Antara Nostalgia dan Realitas

Lagu "Malang Suantai Sayang" memotret Malang sebagai rumah, tempat pulang, tempat melepas lelah yang penuh kenyamanan. Namun realitas di luar lirik berbeda. Macet di simpang lima, antrean panjang di jalan Ijen kala akhir pekan, kepadatan di sekitar kampus dan kos-kosan mahasiswa, semua ini menandakan Malang tumbuh pesat, tapi sekaligus kehilangan ritmenya yang dahulu.

Aku ingat, dulu naik angkot di Malang bisa jadi pengalaman suantai: duduk di kursi panjang, bercakap dengan penumpang sebelah, bahkan menikmati udara sejuk yang masuk dari jendela terbuka. Sekarang, orang lebih memilih naik ojek online; cepat, efisien, tanpa basa-basi. Suantai itu perlahan menguap bersama modernitas.

Sal Priadi, lewat lagunya, seolah mengabadikan rasa yang kian langka itu. Ia menyimpan Malang dalam bentuk memori, bukan realitas. Lagu ini bukan hanya tentang kota, tapi tentang kerinduan akan suasana yang mungkin tak lagi bisa diulang.

Mural Malang Suantai Sayang - Sumber: IG @sal priadi
Mural Malang Suantai Sayang - Sumber: IG @sal priadi

Budaya Pop sebagai Arsip Kota

Aku melihat Malang Suantai Sayang sebagai lebih dari sekadar lagu pop. Ia adalah arsip budaya, cara generasi ini mengingat kotanya. Jika dahulu Malang diabadikan lewat karya-karya sastra atau catatan sejarah, kini kota ini terekam dalam musik, mural, dan video klip anak muda.

Budaya pop punya cara unik untuk menyampaikan nostalgia. Ia bisa menjangkau anak-anak muda yang mungkin tak lagi mengenal Malang tempo dulu, tapi lewat lirik dan visual, mereka bisa merasakannya. Bahkan mural di kafe Kayutangan itu, yang awalnya hanya karya sederhana, kini bertransformasi jadi ikon karena disambungkan dengan lagu.

Namun budaya pop juga rawan jadi komoditas. Kata suantai yang dulu sederhana, kini bisa jadi tagline wisata, dijual sebagai branding kota. Di titik ini, aku khawatir: jangan sampai suantai hanya jadi dekorasi, sementara realitas Malang semakin jauh dari makna itu.

Pulang yang Tak Lagi Sama

Sebagai orang Malang, aku merasa lagu ini mengaduk rasa. Ada bahagia karena kotaku dikenal lewat karya seni, tapi juga ada getir karena realitasnya kontras. Saat bait lagu Sal mengungkapkan:

Ada satu tempat yang
Benar-benar suantai, sayang
Pemandangannya, tinggal sebut saja
Mau pantai ada, gunung-gunung juga
Bahkan yang lengkap, ada air terjunnya
 

Aku mengangguk setuju, karena Malang memang menyimpan ribuan pantai, memeluk keindahan gunung gemunung, dan kesejukan air terjunnya yang tiada tara. Dan inilah aset yang masih terjaga dan sebagai yang harus terus dijaga.

Barangkali pulang memang bukan soal kondisi kota, melainkan soal hati yang tetap mengenali rumahnya. Malang, meski berubah, tetaplah rumah. Mural “Malang Suantai Sayang” di kafe Kayutangan menjadi pengingat bahwa ada sisi kota yang masih ingin dipeluk, meski harus kita cari dengan lebih sabar di tengah keramaian.

Dan tak lupa aku berterima kasih pada Sal Priadi, namanya pun terukir dalam mural itu. Sebuah tanda mata yang akan terkenang sepanjang masa, selama dunia masih berputar layaknya nada-nada rindunya yang terus mengalun untuk kota Malang tercinta.

Salah satu sudut Malang Kayutangan Heritage - Dokumentasi Pribadi 
Salah satu sudut Malang Kayutangan Heritage - Dokumentasi Pribadi 

Suantai sebagai Doa

Kini setiap kali melewati Kayutangan dan melihat mural itu, aku tak lagi sekadar memandang dinding bergambar. Aku melihat doa yang digantungkan pada tembok: doa agar Malang tetap suantai, meski tantangan modernitas menggempurnya.

Lagu Sal Priadi bukan hanya sebuah karya musik; ia adalah cermin rindu, pengingat identitas, sekaligus kritik halus terhadap realitas. Malang Suantai Sayang adalah nada rindu pada rumah yang terus berubah, tetapi tetap memanggil kita untuk pulang karena kenangan dan keindahan alamnya yang masih terjaga.

Mungkin, suantai bukan lagi realitas sehari-hari, melainkan sikap hati. Dan dalam hatiku, Malang akan selalu menjadi “suantai, sayang”; tempat aku pulang, meski tak lagi sama.

Terima kasih Sal, Malang kipa, Malang mbois ulales... Salam Satu Jiwa “Sasaji” AREMA! (Yy).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun