Kupersembahkan Malang
Dengan penuh keterusterangan
Tidak ada yang perlu kau takutkan
Kecuali kau habiskan siangmu di Jalan Kawi
Gendutlah, kau gendut
Jatuhlah hatimu
Bila setelah itu kau kejar
Pergi ke bukit-bukit
(Lihat apa di sana?)
Lihat sunset yang cantik
Bait itu terdengar seperti bisikan hangat sebagai sebuah persembahan dari seseorang yang jauh merantau. Aku pun teringat masa-masa ketika lama jauh dari rumah kemudian saat harus pulang ke Malang, muncul rasa yang begitu ringan: udara dingin yang menusuk tapi menenangkan, jalan-jalan kecil yang tak terburu-buru, dan wajah-wajah ramah di warung kopi pinggir jalan.
Tentang keragaman kuliner lokal Malang yang memanjakan perut, tak mungkinlah kita akan kelaparan. Juga tentang keindahan bukit, gunung, dan pantai yang selalu menyuguhkan keindahan pesona alamnya.
Namun terkadang aku bertanya-tanya: masihkah Malang menyimpan kenyamanan yang sama?
Kayutangan: Dari Heritage Jadi Ingar-bingar
Kayutangan Heritage kini menjadi magnet wisata. Jalan kuno dengan bangunan kolonial itu disulap jadi ruang estetik. Kafe-kafe berjejer, lampu-lampu jalan menyalakan suasana romantis, mural-mural tumbuh di setiap sudut.
Salah satunya mural “Malang Suantai Sayang” yang kini dikenal publik bukan hanya sebagai hiasan, tapi sebagai representasi identitas kota yang ditorehkan oleh arek Malang, Sal Priadi.
Aku menyukai sisi artistiknya, tetapi juga merasa ada sesuatu yang tergerus. Kayutangan yang dulu suantai kini tak pernah benar-benar sepi. Orang datang bukan hanya untuk berjalan, melainkan untuk memotret. Mobil dan motor berjejal, jalanan penuh sesak. Aku rindu berjalan santai di Kayutangan tanpa harus menepi dari arus wisatawan.
Mungkin di titik inilah paradoks Malang muncul: kota yang dulu lekat dengan kata suantai kini makin padat, makin bising, makin tergesa-gesa.
Antara Nostalgia dan Realitas
Lagu "Malang Suantai Sayang" memotret Malang sebagai rumah, tempat pulang, tempat melepas lelah yang penuh kenyamanan. Namun realitas di luar lirik berbeda. Macet di simpang lima, antrean panjang di jalan Ijen kala akhir pekan, kepadatan di sekitar kampus dan kos-kosan mahasiswa, semua ini menandakan Malang tumbuh pesat, tapi sekaligus kehilangan ritmenya yang dahulu.
Aku ingat, dulu naik angkot di Malang bisa jadi pengalaman suantai: duduk di kursi panjang, bercakap dengan penumpang sebelah, bahkan menikmati udara sejuk yang masuk dari jendela terbuka. Sekarang, orang lebih memilih naik ojek online; cepat, efisien, tanpa basa-basi. Suantai itu perlahan menguap bersama modernitas.