Sal Priadi, lewat lagunya, seolah mengabadikan rasa yang kian langka itu. Ia menyimpan Malang dalam bentuk memori, bukan realitas. Lagu ini bukan hanya tentang kota, tapi tentang kerinduan akan suasana yang mungkin tak lagi bisa diulang.
Budaya Pop sebagai Arsip Kota
Aku melihat Malang Suantai Sayang sebagai lebih dari sekadar lagu pop. Ia adalah arsip budaya, cara generasi ini mengingat kotanya. Jika dahulu Malang diabadikan lewat karya-karya sastra atau catatan sejarah, kini kota ini terekam dalam musik, mural, dan video klip anak muda.
Budaya pop punya cara unik untuk menyampaikan nostalgia. Ia bisa menjangkau anak-anak muda yang mungkin tak lagi mengenal Malang tempo dulu, tapi lewat lirik dan visual, mereka bisa merasakannya. Bahkan mural di kafe Kayutangan itu, yang awalnya hanya karya sederhana, kini bertransformasi jadi ikon karena disambungkan dengan lagu.
Namun budaya pop juga rawan jadi komoditas. Kata suantai yang dulu sederhana, kini bisa jadi tagline wisata, dijual sebagai branding kota. Di titik ini, aku khawatir: jangan sampai suantai hanya jadi dekorasi, sementara realitas Malang semakin jauh dari makna itu.
Pulang yang Tak Lagi Sama
Sebagai orang Malang, aku merasa lagu ini mengaduk rasa. Ada bahagia karena kotaku dikenal lewat karya seni, tapi juga ada getir karena realitasnya kontras. Saat bait lagu Sal mengungkapkan:
Ada satu tempat yang
Benar-benar suantai, sayang
Pemandangannya, tinggal sebut saja
Mau pantai ada, gunung-gunung juga
Bahkan yang lengkap, ada air terjunnya
Aku mengangguk setuju, karena Malang memang menyimpan ribuan pantai, memeluk keindahan gunung gemunung, dan kesejukan air terjunnya yang tiada tara. Dan inilah aset yang masih terjaga dan sebagai yang harus terus dijaga.
Barangkali pulang memang bukan soal kondisi kota, melainkan soal hati yang tetap mengenali rumahnya. Malang, meski berubah, tetaplah rumah. Mural “Malang Suantai Sayang” di kafe Kayutangan menjadi pengingat bahwa ada sisi kota yang masih ingin dipeluk, meski harus kita cari dengan lebih sabar di tengah keramaian.
Dan tak lupa aku berterima kasih pada Sal Priadi, namanya pun terukir dalam mural itu. Sebuah tanda mata yang akan terkenang sepanjang masa, selama dunia masih berputar layaknya nada-nada rindunya yang terus mengalun untuk kota Malang tercinta.