Kini setiap kali melewati Kayutangan dan melihat mural itu, aku tak lagi sekadar memandang dinding bergambar. Aku melihat doa yang digantungkan pada tembok: doa agar Malang tetap suantai, meski tantangan modernitas menggempurnya.
Lagu Sal Priadi bukan hanya sebuah karya musik; ia adalah cermin rindu, pengingat identitas, sekaligus kritik halus terhadap realitas. Malang Suantai Sayang adalah nada rindu pada rumah yang terus berubah, tetapi tetap memanggil kita untuk pulang karena kenangan dan keindahan alamnya yang masih terjaga.
Mungkin, suantai bukan lagi realitas sehari-hari, melainkan sikap hati. Dan dalam hatiku, Malang akan selalu menjadi “suantai, sayang”; tempat aku pulang, meski tak lagi sama.
Terima kasih Sal, Malang kipa, Malang mbois ulales... Salam Satu Jiwa “Sasaji” AREMA! (Yy).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI