Nama-nama toko legendaris masih bertahan, meski tak seramai dulu. Beberapa toko alat-alat rumah tangga, toko aksesoris dan parfum, aksesoris pengantin, toko kelontong, penjual baju, sepatu, tas, dan pakaian seragam sekolah, hingga toko mainan tradisional tetap menjadi tujuan pelanggan setia.Â
Sementara di bagian luar pasar, tumpah ruah pedagang kaki lima menghidupkan suasana jalanan. Ada yang menjual bunga, buah potong, sayur mayur, jam tangan, alat tulis, aksesori murah meriah, dan masih banyak lagi.
Pasar ini juga menyimpan simbol identitas warga Malang: semangat berjuang dan merawat yang lama. Dalam era di mana pusat perbelanjaan modern menjamur dan aplikasi belanja online mendominasi, masih ada orang-orang yang lebih memilih jalan setapak ke pasar demi merasakan sentuhan manusiawi dalam berbelanja.
Menghidupkan Kenangan Lewat Aroma dan Suara
Pasar bukan hanya tentang barang. Ia hidup dari aroma dan suara. Aroma kemenyan dari penjual dupa, bau kopi bubuk yang baru digiling, wangi segar dari potongan bunga melati, dan aroma khas daging yang dimasak di dapur Warung Lama.
Harum aroma kopi diseduh, denting suara gelas es jeruk yang diaduk, hingga kepulan asap sate komoh dan kuah tahu campur berbaur di lapak-lapak kuliner yang berjajar di dalamnya menambah suasana khas yang lekat dalam ingatan.
Suara-suara khas pasar juga tak tergantikan: teriakan pedagang menawarkan dagangan, suara kerincing uang logam, percakapan hangat dalam bahasa Malangan yang kental, dan derap kaki serta tubuh yang berhimpitan menyusuri lorong-lorong sempit.
Tak jarang, di antara lorong tersebut, kita akan bertemu dengan lansia yang tetap setia berdagang. Dengan tangan keriput dan wajah sabar, mereka adalah penjaga ingatan kota. Melihat mereka adalah seperti membuka halaman buku sejarah yang terus ditulis ulang setiap hari.