"Kebudayaan bukanlah hiasan, tetapi jati diri manusia" - Frans Magnis Suseno
Pagi-pagi sekali saya dan rombongan Bolang Kompasiana sudah tiba Museum Srimulat di Jalan Mardian, desa Bumiaji. Udara sejuk dan cuaca cerah menyambut kedatangan kami dalam sebuah kegiatan kolaboratif yang melibatkan Astra, Pewarta Foto Indonesia (PFI), dan Kompasiana.
Hari itu diawali dengan workshop fotografi dan bincang inspiratif, menghadirkan para narasumber hebat yang tak hanya kompeten di bidangnya, tetapi juga sarat semangat berbagi.
Para pembicara yang tampil antara lain: Nurulloh, Head of Impact Kompasiana; Agung Yudha Wilis Baskoro, fotografer pemenang World Press Photo 2025; serta Anjani Sekar Arum, local hero Bumiaji penerima SATU Indonesia Award 2017, yang kini aktif sebagai penggerak Desa Sejahtera Astra (DSA).
Sesi awal kegiatan diwarnai antusiasme peserta hingga akhir setelah workshop dan talkshow. Rangkaian kegiatan selanjutnya adalah sesi photo hunt menyusuri berbagai sudut Kampung Berseri Astra (KBA) Bumiaji.
Kami berkesempatan mengunjungi empat UMKM sukses binaan BUMDes, yaitu: CV. Bagus Agriseta Mandiri, Syif UKM Permata Agro Mandiri, Batu Orange Cake, serta Wisata Agro Bumiaji.
Beserta rombongan peserta, saya berkeliling desa dengan mengendarai Bus Cotty Tayo Wisata unik dengan pengemudi yang ramah didampingi local tour guide yang menyenangkan.
Melalui perjalanan itu, saya belajar satu hal penting: semangat tak tumbuh dari gedung yang megah atau pidato berdurasi panjang. Ia tumbuh diam-diam di tengah orang-orang biasa yang memilih untuk terus bergerak, sekalipun mungkin dalam keterbatasan.
Bumiaji, desa kecil di lereng pegunungan Arjuno-Welirang, Batu, Jawa Timur menunjukkan bahwa masa depan bisa dirajut dari kekuatan budaya, kerja kolektif, dan cinta pada tanah sendiri.
Apa itu Desa Sejahtera Astra?
Program Desa Sejahtera Astra (DSA) adalah program inisiatif sosial dari Astra Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan potensi ekonomi desa melalui pemberdayaan masyarakat dan pengembangan produk unggulan desa (Prukades). Program ini berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan, pendampingan usaha, penguatan kelembagaan, dan penyediaan sarana produksi.
Program ini adalah bagian dari inisiatif tanggung jawab sosial Astra untuk mendorong desa-desa di Indonesia menjadi mandiri, sehat, cerdas, dan lestari. Di tempat-tempat ini, Astra hadir sebagai sahabat perubahan: mendampingi warga dalam berbagai program pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, hingga pelestarian lingkungan.
Kecamatan Bumiaji di Kota Batu yang ditetapkan sebagai DSA tak hanya terkenal sebagai sentra buah apel, tetapi juga sebagai pusat kreativitas rakyat, terutama lewat kekuatan budaya lokal: bantengan.
Bertemu Anjani Sekar Arum, Membatik Jejak Leluhur
Dalam kesempatan berharga ini, saya bersapa dan berbincang langsung dengan seorang wanita muda yang cantik, ceria dan enerjik. Seorang hero wanita bernama Anjani Sekar Arum, dan ia tak butuh panggung besar untuk menjelaskan misinya.
"Banteng itu bukan cuma topeng, itu simbol. Tentang bagaimana rakyat kecil menjaga harga diri, keberanian, dan budaya."
Anjani Sekar Arum sangat mempunyai peran penting dalam pengembangkan dan pelestarian budaya lokal di Desa Bumiaji, khususnya melalui karya batik. Batik Tulis Banteng Agung, merupakan karya yang ia cetuskan dan ini mampu mengangkat seni tradisional Bantengan, kesenian khas Kota Batu yang dituangkan dalam motif batik.
Anjani bukan sembarang pembatik namun adalah puteri dari sosok pelestari awal kesenian bantengan di Batu. Namun alih-alih hanya meneruskan seni pertunjukan itu, ia memilih membatik motif banteng, mengubah energi gerak ke dalam garis, pola, dan warna. Ia membina ibu-ibu dan anak-anak di sekitar rumahnya untuk ikut belajar membatik dan menjahit bukan sebagai pelengkap kegiatan, tetapi sebagai sumber daya ekonomi dan jati diri.
"Batik ini bukan motif sembarang. Ada cerita di setiap sapuan cantingnya," ucapnya sambil menunjukkan kain yang tengah dicanting oleh dua orang ibu di sanggarnya.
Melalui inisiatifnya, batik menjadi cara memperkenalkan anak-anak pada budaya bantengan yang sehat dan edukatif, bebas dari stigma negatif seperti kalap atau kekerasan. Anjani adalah contoh nyata bahwa melestarikan budaya bisa dilakukan dengan pendekatan yang kreatif dan inklusif.
Anjani yang terlahir dari keluarga seniman ini juga aktif dalam pemberdayaan masyarakat, termasuk melatih anak-anak untuk membatik di sanggarnya secara gratis, serta membangun Kampung Wisata Edukasi Pembatik Cilik di Yogyakarta. Batiknya telah dipamerkan hingga mancanegara, yakni di Ceko, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Australia.
UMKM yang Bertumbuh Bersama
Menjelajahi Bumiaji seperti membaca buku kuliner berbasis kemandirian. Dari satu rumah ke rumah lain, saya menemukan cerita-cerita tentang buah apel dan jeruk yang tak hanya berhenti di pohon atau pasar. Mereka diolah, dikreasikan, dan dipasarkan oleh warga sendiri.
1. Apel Menjelma Berbagai Olahan di CV. Bagus Agriseta Mandiri
Di CV. Bagus Agriseta Mandiri, saya menyaksikan secara pengolahan jenang apel. Perusahaan yang didirikan oleh Bapak Syamsul Huda, SP pada tanggal 11 Maret 2001 ini bergerak pada bidang pertanian yang mengolah hasil budidaya buah dan sayur.
Produk yang menjadi unggulan di sini antara lain adalah makanan olahan dari buah dan sayuran seperti dodol, jenang sari apel, bakpia dan manisan, serta berbagai jenis keripik.
Jenis keripik yang diolah di sini adalah keripik nangka, keripik nanas, keripik jambu, keripik salak, keripik strawberry, dan keripik wortel dan semuanya diproduksi dengan standar higienis.
2. Pai dan Pia Lumer “Shyif” UMKM Permata Agro Mandiri
Berikutnya kami mengunjungi “Shyif” UMKM Permata Agro Mandiri, sebuah rumah produksi pia dan pai apel, yang dikerjakan oleh ibu-ibu dari kecamatan Bumiaji. Shyif Permata Agro Mandiri yang didirikan pada tahun 2009 ini merupakan industri pengolahan buah dengan produk unggulan pia dan pai apel. UMKM ini rutin memenuhi pesanan oleh-oleh, bahkan telah menjangkau toko daring.
Merek "Shyif" telah terdaftar pada tahun 2016 di Dirjen HAKI sebagai merek dagang untuk produk-produk yang mereka hasilkan. Saat berkunjung kami berkesempatan mencicipi pia apel yang saat itu tengah diproduksi langsung dan dikemas. Paduan rasa manis dan asam yang khas buah apel dari selainya yang lembut dan lumer.
3. Batu Orange Cake
Dengan Bus Cotty Tayo kami kembali menuju UMKM di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yaitu Batu Orange Cake. Orange Cake yang dikelola oleh BUMDesa Guyub Rukun desa Bumiaji yang berdiri sejak Juli 2019 ini dibuat oleh ibu-ibu PKK sebagai buah tangan atau oleh-oleh dari Baru khas desa Bumiaji.
Mengapa dari jeruk dan bukan apel? Salah seorang ibu di toko Batu Orange Cake menyampaikan bahwa saat ini banyak petani beralih dari tanaman apel ke tanaman jeruk, karena biaya produksi apel jatuhnya sangat mahal dan jeruk lebih ekonomis.
Cakenya lembut dan fresh berdasarkan pesanan karena dibuat tanpa bahan pengawet. Telur pun dipesan langsung dari peternak ayam yang baru dan segar agar hasil cake menjadi bagus dengan tekstur yang lembut.
Di tempat ini tak hanya membuat kue, tapi juga membangun sistem usaha bersama. Dapur mereka hangat, bukan hanya karena oven yang menyala, tetapi karena kerja kolektif yang mereka rawat dengan rasa percaya.
Semua ini bukan muncul tiba-tiba. Astra hadir lewat pelatihan, dukungan peralatan, hingga membantu pemasaran. Tapi yang paling penting: warga Bumiaji-lah yang menggenggam kemudi perubahannya sendiri.
4. Wisata Agro Jambu Kristal dan Keripik Masa Depan
Tak perlu buru-buru pulang sebelum ke perkebunan jambu kristal. Saya beruntung bisa diajak berkeliling kebun dan ikut mencoba membuat keripik jambu, inovasi baru yang lahir dari keinginan untuk tak hanya menjual hasil panen, tapi juga mengolahnya jadi produk unggulan.
Di sini saya menyaksikan bagaimana wisata agro tak lagi hanya tentang jalan-jalan dan selfie. Tapi tentang edukasi: mengenal proses panen, belajar memproses hasil alam, dan ikut merayakan hasil kerja keras petani.
78 Kelompok Bocil Bantengan Sebuah Festival Budaya Masa Depan
Siang itu mendung bergelayut, sapuan angin dingin khas hawa kota Batu merasuki pori-pori. Kelabu langit menjelang sore itu tak menyurutkan semangat 500 lebih anak-anak atau Anjani menyebutnya bocil yang siap menunjukkan atraksi kebanggaan mereka: bantengan.
Sepanjang jalan di depan Sanggar dan Galeri Batik Anjani dipenuhi 78 kelompok bantengan bocil yang datang dari berbagai wilayah di seluruh kota Batu. Mereka datang dengan topeng, gamelan, dan semangat yang membara.
Bantengan anak-anak ini adalah bentuk nyata regenerasi budaya mereka; tampil tanpa beling, tanpa kalap, tanpa kerasukan membabi buta. Namun tetap menampilkan gerakan gagah, suara semangat, dan ekspresi budaya yang kuat.
"Sebenarnya yang kerasukan itu bukan hal negatif, kalau ada pawang dan diarahkan. Tapi kita ajarkan juga sisi spiritual dan disiplinnya," kata salah satu pelatih bocil bantengan.
Yang lebih menggembirakan, puncak perayaannya belum selesai. Pada 4 Agustus 2025 nanti, akan digelar "Festival 1000 Banteng se-Malang Raya ke-17" yang dipusatkan di Alun-Alun kota Batu. Sebagai event tahunan, ini bukan hanya pertunjukan akbar, tapi juga simbol bahwa budaya lokal bisa jadi magnet wisata sekaligus ruang ekspresi generasi muda.
Bazar UMKM: Menampilkan yang Tersembunyi
Di sela festival, digelar pula bazar kuliner UMKM. Stand-stand kecil dengan banner unik khas Jawa yang kental menjual berbagai produk: jeruk peras, jenang apel, jajan pasar dan tradisional, ketan hitam, jamu tradisional, hingga olahan kekinian. Ada pula camilan sehat, seperti ubi, ketela, dan pisang rebus hasil kebun mereka sendiri.
Yang membuat bazar ini unik bukan sekadar produknya, tapi semangat di baliknya. Banyak dari pelaku UMKM ini adalah ibu-ibu rumah tangga, lansia, atau anak muda yang dulunya tak percaya diri memasarkan produknya. Sekarang, mereka saling menyemangati, saling belajar, dan berani menawarkan hasil karya mereka dengan bangga.
Bazar UMKM yang unik, menarik, dan indah oleh Ibu-Ibu PKK - Dok. Pribadi

Bumiaji Mengajarkan Cara Berseri
Setelah satu hari penuh menjelajah Desa Sejahtera Astra Bumiaji, saya tak hanya membawa pulang pia apel dan keripik jambu kristal. Saya membawa pulang harapan.
Harapan bahwa desa bisa menjadi pusat perubahan, bahwa budaya bisa mendidik sejak dini, bahwa perempuan bisa memimpin ekonomi keluarga, dan bahwa anak-anak bisa mencintai tanahnya sendiri lewat seni, bukan sekadar lewat pelajaran.
Bumiaji tidak berseri karena dihias atau dicat indah. Ia berseri karena manusia-manusianya menolak padam, memilih menyalakan lentera kecil di rumah masing-masing, lalu bersama-sama menjadikannya terang.
Kampung ini mengingatkan saya, bahwa perubahan itu bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan tumbuh dari dalam. Dari semangat, dari kerja sama, dan dari cinta yang sederhana tapi terus menyala. Sasaji, salam lestari! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI