Dunia mengenalnya lewat karya yang melegenda: “Anak Bajang Menggiring Angin” (1983, Gramedia). Novel ini adalah adaptasi kreatif dari kisah Ramayana yang ditulis dalam gaya yang sangat indah, reflektif, dan mendalam. Ia bukan sekadar menulis ulang cerita klasik, tapi menanamkan filosofi Jawa, nilai-nilai spiritual, dan semangat pembebasan dalam narasi yang dekat dengan pembaca Indonesia.
Karya-karya lanjutannya seperti Semar Mencari Raga, Anak-anak Semar, Sayur Lodeh Kehidupan, Petruk Jadi Guru, dan kumpulan puisi seperti Air Kata-Kata dan Air Kejujuran, menunjukkan bahwa Romo tidak berhenti menulis. Ia terus berbicara tentang manusia, dalam suka dan derita, dalam iman dan harap, dalam kegagalan dan kemungkinan.
Jejak Intelektual: Dari Lawang ke München
Pendidikan formalnya dimulai di Seminarium Marianum, Lawang, tempat ia menamatkan SMA-nya pada tahun 1970. Ia lalu melanjutkan studi filsafat di Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta, lulus tahun 1980, dan kemudian menempuh studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta, hingga lulus pada 1983.
Tak berhenti di situ, ia melanjutkan studi doktoral di Hochschule für Philosophie, München, Jerman dan meraih gelar doktor filsafat tahun 1992. Disertasinya mengangkat topik yang unik: pengharapan mesianik dalam masyarakat Jawa, sebuah sintesis antara iman, filsafat, dan kearifan lokal.
Kini ia menetap di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta, tetap aktif menulis, mengajar, dan mendampingi kaum muda.
Cendekiawan Berdedikasi 2025
Tahun 2025, Harian Kompas menganugerahi Romo Sindhunata gelar Cendekiawan Berdedikasi. Ini bukan semata penghargaan atas gelar akademik atau popularitas, melainkan atas kesetiaan panjangnya menyalakan cahaya lewat kata-kata.
Ia telah menunjukkan bahwa menjadi cendekiawan bukan berarti menjadi tokoh menara gading. Ia menjelma menjadi jembatan, antara ilmu dan iman, antara rakyat dan elite, antara tradisi dan modernitas.
Menulis Bukan untuk Tampil
Dalam dunia yang makin riuh dan sering kali kehilangan kedalaman, suara Romo Sindhunata adalah oase. Ia tidak menulis untuk viral. Ia menulis agar nurani tetap hidup. Ia tidak mencari panggung. Ia hadir untuk yang tak bersuara.
Proficiat dan selamat Romo Sindhu, Salam Satu Jiwa Arema. Salam doaku selalu! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI