“Saya menulis bukan untuk tampil, tapi untuk menyuarakan yang tak bersuara.” — Romo Sindhunata
Sebuah kebanggaan dan haru menyeruak dari dalam kalbu, setelah mendengar, membaca, dan menyaksikan tokoh idola terpilih menjadi "Cendekiawan Berdedikasi 2025". Air mata haru pun tak kuasa dibendung dalam diam, tanpa bisa berkata-kata. Hanya ucap puji syukur pada Sang empunya kehidupan. Ya, Romo Sindhu sangat layak menerima penghargaan bergengsi itu...
Sebagian orang bekerja demi nama, sebagian lain demi makna. Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ., adalah salah satu dari yang kedua. Imam Katolik, penulis, wartawan, filsuf, budayawan, semuanya melebur dalam satu sosok yang rendah hati, bersahaja, dan setia pada jalan sunyi pengabdian.
Nama lahirnya adalah Liem Tiong Sien, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan nama pena Sindhunata, atau sapaan akrab Rama Sindhu (Romo Sindhu dalam bahasa Jawa). Ia lahir di Kota Batu, Jawa Timur, pada 12 Mei 1952, dan tumbuh di kaki Gunung Panderman. Dari alam yang sejuk dan masyarakat yang guyub, ia belajar mendengarkan suara-suara kecil yang kelak menjadi denyut karya-karyanya.
Imam dan Penulis yang Membumi
Sebagai seorang imam Yesuit, Romo Sindhunata menjalani hidup religius yang berpadu dengan intelektualitas dan pelayanan. Namun, ia tak hanya hidup di balik tembok gereja atau ruang kuliah. Ia masuk ke dapur rakyat, berjalan bersama masyarakat kecil, dan menjadikan pena sebagai alat perjuangan.
Sejak 1977, ia bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis feature kehidupan, laporan sepak bola, dan opini kebudayaan. Ia punya cara menulis yang khas: tajam, lembut, dalam, sekaligus puitis. Baginya, literasi bukan kemewahan. “Membaca itu seperti makan nasi, harus setiap hari,” ujarnya suatu kali. Begitu pula dengan menulis bukan demi pamrih, tapi demi memelihara jiwa dan nurani bangsa.
Basis Gagasan, Rumah Budaya
Selain aktif sebagai jurnalis, Romo Sindhunata juga menjabat sebagai redaktur majalah kebudayaan “BASIS”, salah satu media pemikiran Katolik progresif yang menyuarakan isu-isu kemanusiaan, keadilan sosial, dan budaya lintas iman.
Ia juga mendirikan komunitas seni-budaya yang tak biasa: PANGOENTJI (Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe), yang secara harfiah berarti “Paguyuban Minum Ciu”tentu bukan dalam arti harfiah meminum minuman keras, tapi sebagai simbol keakraban, keterbukaan, dan dialog santai lintas kalangan. Melalui PANGOENTJI, ia mendekatkan pemikiran dengan rakyat, menempatkan budaya dalam ruang guyub yang ramah dan egaliter.
Tak berhenti di situ, Romo juga mendirikan Omah Petroek di lereng Gunung Merapi. Tempat ini bukan hanya rumah retret, melainkan ruang belajar hidup bersama tempat bertemunya seniman, intelektual, petani, anak-anak muda, dan siapa pun yang mau merenung dalam kebersahajaan.