Gua Maria ditetapkan oleh keuskupan sebagai lokasi Pintu Suci atau Porta Sancta, maka ziarah ke sana tidak sekadar devosi pribadi, tetapi menjadi bagian dari perayaan Tahun Yubileum Gereja Universal, di sepanjang tahun 2025 ini.
Di kaki Pegunungan Menoreh yang tenang dan sejuk, sebuah tempat sederhana namun sakral berdiri sebagai rumah doa dan perjumpaan rohani: Gua Maria Sendangsono, salah satu gua bagi peziarah harapan Tahun Yubelium.
Terletak di Dusun Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo, tempat ini bukan hanya menjadi destinasi ziarah umat Katolik, tetapi juga menyimpan narasi sejarah, budaya, dan spiritualitas lintas generasi.
Sendangsono, yang berarti “mata air di bawah pohon sono (angsana)”, menyimpan cerita panjang yang bermula dari mata air alami yang dikeramatkan masyarakat setempat. Di sanalah, di bawah naungan dua pohon sono yang teduh, air mengalir tanpa henti, menjadi lambang kehidupan dan keberkahan.
Dahulu, para bhiksu Buddha kerap beristirahat di sini dalam perjalanan mereka menuju Borobudur, menandakan tempat ini telah lama menjadi ruang kontemplatif lintas iman.
Awal Mula Iman: Baptisan di Bawah Pohon Sono
Sejarah Sendangsono mencatat peristiwa penting pada 14 Desember 1904, saat Romo Franciscus Georgius Josephus Van Lith, SJ, seorang misionaris Jesuit asal Belanda, membaptis 173 orang pribumi di mata air Semagung. Momen ini menjadi tonggak lahirnya komunitas Katolik di wilayah Pegunungan Menoreh.
Salah satu tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sariman Soerawirja, seorang muda pencari ilmu kejawen. Dalam penderitaannya karena sakit parah yang tak kunjung sembuh, ia bertapa dan menerima wangsit untuk pergi ke arah timur laut.
Dengan ngesot karena tak bisa berjalan, ia menuju Muntilan dan bertemu dengan Bruder Kersten serta Romo Van Lith. Setelah dirawat hingga sembuh, ia tertarik pada ajaran Katolik dan dibaptis dengan nama Barnabas Sarikrama.
Kisah pertobatannya bukan hanya menyentuh, tapi juga membakar semangat pewartaan. Barnabas melanjutkan pewartaan Injil dengan penuh semangat, berkeliling kampung, mengajar, dan membimbing orang-orang mengenal Kristus.
Dedikasi luar biasa ini membuatnya dianugerahi penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice dari Paus Pius XI pada 1929. Semangatnya menjadi warisan iman yang hidup hingga kini.
Membangun Tempat Doa: Dari Sendang Menjadi Gua Maria
Pada 1923, seorang imam Jesuit, Romo JB Prennthaler, SJ, menggagas pembangunan tempat doa di lokasi baptisan pertama tersebut. Patung Bunda Maria didatangkan dari Swiss dan diangkut sejauh 30 kilometer dari Sentolo. Tiga tahun kemudian, pada 8 Desember 1929, Gua Maria Sendangsono resmi diberkati dan dibuka sebagai tempat ziarah.
Gua ini dibangun sebagai ungkapan syukur umat Kalibawang atas iman yang mereka terima. Di tempat inilah, umat datang dengan hati hening, membawa harapan, luka, syukur, dan doa. Lonceng berdentang tiga kali sehari, pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore, mengundang umat masuk dalam keheningan doa Angelus.
Tahun 1958, dibangun 14 stasi Jalan Salib, dan pada tahun 2000 berdiri Salib Milenium sebagai simbol iman umat di zaman baru. Di antara bangunan spiritual lainnya, terdapat Kapel Tritunggal Mahakudus, Kapel Para Rasul, dan Kapel Maria Bunda Segala Bangsa; semuanya menjadi titik-titik peziarahan yang menggugah permenungan.
Romo Mangun dan Arsitektur yang Menyatu dengan Jiwa Jawa
Pada 1969, Gua Maria Sendangsono mengalami penataan ulang oleh Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, imam sekaligus arsitek yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap budaya dan spiritualitas lokal. Ia menerapkan konsep Wastu Citra, yakni filosofi bangunan yang tidak hanya indah dilihat, tetapi mengandung makna jiwa budaya.
Kompleks Sendangsono ditata seperti rumah tradisional Jawa: ada pelataran depan, ruang tengah, dan ruang belakang yang masing-masing punya fungsi spiritual. Bangunan-bangunan itu menyatu dengan alam, mengikuti kontur tanah, dinaungi pohon rindang, dan tak banyak ornamen mencolok semuanya mendukung pengalaman batin yang mendalam.
Arsitektur ini bukan sekadar estetika, tapi juga menjadi sarana untuk membantu peziarah menyelami makna ziarah sebagai perjalanan jiwa. Tak heran, Sendangsono mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia dan dinobatkan sebagai situs cagar budaya.
Oase Rohani di Tengah Zaman
Romo Aloysius Triyanto, pastor paroki Promasan pada waktu itu, menyebut Sendangsono sebagai “oase rohani”. Ia melihat tempat ini sebagai ruang di mana orang dapat menemukan kembali jati diri rohaninya, terlepas dari latar belakang dan problem hidup. Pemandangan alam yang asri, udara yang segar, dan aliran air sendang yang jernih menciptakan atmosfer hening untuk berdoa dan merenung.
Bukan hanya umat Katolik yang datang ke sini. Terkadang, umat agama lain juga singgah, duduk diam, atau sekadar mencuci muka dari air sendang. Dalam sunyi yang sakral itu, manusia merasa dekat dengan Tuhan, melalui kehadiran Bunda Maria yang senantiasa menjadi ibu yang mengasihi, mendoakan, dan menemani.
Iman yang Bertumbuh dan Budaya yang Dihidupkan
Sendangsono tidak pernah sepi. Bulan Mei dan Oktober, yang dikenal sebagai Bulan Maria, selalu dipadati peziarah dari seluruh Indonesia. Tak hanya berdoa, mereka juga membawa pulang air sendang dalam botol kecil, percaya akan daya sembuh dan berkatnya.
Air suci Sendangsono yang digunakan untuk membabtis terletak di bawah pohon Sono di dekat sumber air Semagung. Saat ini sumur tempat air suci ini ditutup kaca, tetapi umat masih bisa mengambil airnya dari kran-kran yang ada di sekitar gua Maria.
Namun Sendangsono bukan hanya tempat untuk pribadi yang bersyukur atau memohon. Ia juga tempat belajar, tempat berkumpul, tempat tumbuhnya benih-benih panggilan. Banyak imam, bruder, dan suster berasal dari komunitas sekitar Sendangsono, sebuah bukti nyata bagaimana tempat ini menumbuhkan iman dan panggilan hidup rohani.
Suasana yang syahdu untuk berdoa dan bermeditasi - Source: Mo Jas Esvede

Ziarah, Ekologi, dan Dialog Lintas Iman
Selama hampir dua dekade, Yohanes Setiyanto, S.S. telah menjadi Manajer Area Sendangsono. Baginya, bekerja di tempat ini adalah bentuk cinta kepada Gereja. Ia aktif dalam membina karyawan, merawat bangunan, berdialog lintas iman, serta menjaga agar peziarah dari latar belakang apa pun merasa diterima dan dicerahkan.
Sendangsono juga menjadi contoh tempat ziarah yang peduli pada lingkungan. Dalam peringatan 118 tahun baptisan pertama, dilakukan penebaran benih ikan dan pembagian bibit Indigofera untuk mencegah tanah longsor. Ada pula gerakan menghidupkan keanekaragaman hayati, mengurangi pupuk kimia, dan membina kelompok tani yang ramah alam.
Lingkungan di sekitar Sendangsono memang rawan longsor. Namun justru dari tantangan itu lahir semangat kolektif untuk merawat bumi—sebuah ajaran iman yang diterjemahkan dalam tindakan nyata.
Menjaga Warisan, Menumbuhkan Harapan
Ziarah bukan hanya perjalanan menuju tempat suci. Ia adalah perjalanan ke dalam hati. Sendangsono menghadirkan ruang untuk itu: keheningan yang memberi jawaban, keteduhan yang menenangkan, dan kisah sejarah yang menginspirasi.
Sebagai ruang spiritual, Sendangsono terus hidup dari waktu ke waktu. Di tengah dunia yang cepat dan bising, tempat ini menjadi titik hening yang meneduhkan. Di bawah pohon sono, di antara aliran air jernih, umat masih datang. Mereka menyalakan lilin, berlutut, berdoa.
Dan dalam hening itulah, suara Tuhan pelan-pelan terdengar: melalui doa Maria, melalui alam, melalui iman yang diwariskan para leluhur, melalui cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.
Salam Lestari! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI