Seperti berdiri satu kaki aku harus menerima kenyataan bahwa aku harus sendiri, ketika pendamping hidupku menghadap Sang Khalik di tahun 2018. Tiga tahun aku melangkah tanpa Suster Ina di sisiku. Aku limbung seperti layangan putus. Namun meskipun jauh bertugas di tanah Ende, Nusa Tenggara Timur beliau tetap memberikan dukungan moril yang kuat kepadaku. Suster Ina adalah guru juga sekaligus ibuku.
Aku terus berproses dan bergerak. Kubiarkan diriku terbuka bagi perbaikan oleh orang lain melalui sapaan lembut, sindiran halus, hingga gertakan keras. Aku berusaha untuk menerima semua dengan baik dengan mengolah dan merefleksikan semua kembali dalam diriku.
Waktu bergulir dan aku tetap berdiri dengan teguh hingga saat ini. Aku akan tetap menyala sekalipun di sudut ruangan yang gelap. Sama halnya aku terus melihat Suster Ina selalu menyala di manapun beliau berada.
“Jangan cemaskan tentang sukma,
hayati dan buktikan di dalam keheningan yang tersimpan dalam batin”
(Zara Zettira, ZR, 2008)
Kembali lagi tulisan ini sebagai hadiah untuk Guruku dan Ibuku, Suster Ina.
Dua tahun lalu juga kupersembahkan dalam buku antologi “Guruku Inspirasiku” (2021), dan pada orang yang sama.
Selamat Hari Guru, Ibuku sayang…
Salam dan doaku selalu. (Yy)