Melalui intercom beliau memanggilku datang ke ruangannya, dan sama sekali tak terdengar nada marah. Namun demikian, aku tak dapat menyembunyikan kegugupanku, ketika tergopoh-gopoh dan nyaris laptop di tanganku terlepas dan kertas-kertas pekerjaanku berhamburan di depan ruangan Kepala Sekolah.
Ketika aku gemetar dan wajahku memerah karena takut, dengan sigap beliau membantu dan membimbingku masuk ke ruangannya. Sama sekali tidak tergambar wajah kecewa atau marah dari wajahnya. Kami duduk berhadapan, tidak di halangi meja, melainkan duduk berdampingan di kursi tamu kayu jati tua yang ada dalam ruangan itu.
“Ono opo Mbak, ada masalah apa? Ceritakan saja, cukup pada saya. Siapa tahu saya bisa membantu. Gak biasanya gini loh? Hayo, kenapa?”, Suster Ina bertanya tentang hambatan yang kualami. Padahal murni aku benar-benar lalai.
“Mboten wonten punopo-punopo, Suster (tidak ada apa-apa, Suster)…, saya benar benar lupa, maaf nggih Suster, saya akan selesaikan sekarang juga”, jawabku dengan sedikit gemetar karena takut.
“Ya wes, diselesaikan dengan tenang. Saya akan bantu setelah saya supervisi kelas IPS ya... kerjakan di ruangan saya saja supaya tenang”, Suster Ina memberikan solusi padaku dengan perkataan lembut tanpa membuatku takut. Aku berusaha menetralisir keadaan.
Banyak permasalahan yang kuhadapi dengan legowo dan jauh lebih tenang setelah mendapat arahan dan nasehat Suster Ina. Beliau seorang yang sabar dan setia mendengarkan segala keluh kesahku. Jika aku melakukan kesalahan, tak jarang juga menegurku dengan agak keras namun masih dengan kasih.
Setiap nasehat dan petunjuk beliau semakin membuatku berserah diri sepenuhnya hanya pada Tuhan dalam setiap pergumulan hidup dalam pengabdianku di kampus ini. Aku menjadi tak berkecil hati karena “manusia yang sempurna adalah bukan manusia yang tanpa salah, tetapi manusia yang bisa belajar dari kesalahannya untuk mencapai kesempurnaan.” Sr. Ina selalu menghargai setiap pribadi tanpa memilih atau melihat siapa pribadi itu.
Sosok Sederhana
Suster Ina lahir di kota Nganjuk, Jawa Timur 57 tahun yang lalu. Sejak pertama bersua, beliau sudah memberikan aura ketenangan dan semangat. Seringkali kami sharing dan deeptalk tentang hal yang memacu semangat di luar pembicaraan tentang karya pelayanan di unit kami. Setiap kata yang terucap seolah mantra yang sanggup mendorong jiwa untuk semakin bersemangat dalam hidup dan gembira di setiap keadaan. Keramahan berbalut kesederhanaan yang melekat dalam diri Suster Ina menepis rasa rendah diriku yang selalu berkecamuk ketika menghadapi seorang pimpinan.
“Mbak Yuk biasa potong rambut di mana?, tanya Suster Ina suatu ketika karena merasa rambut beliau mulai perlu dirapikan.