Dalam heningnya sebuah kamar, di penghujung senja kehidupannya, ada seorang ibu yang mengajarkan kami arti cinta yang paling murni. Ia adalah sosok yang kami rawat, seorang lansia yang penyakitnya telah merenggut kemampuannya untuk berbicara.Â
Kata-kata tak lagi bisa ia rangkai, keluh kesah tak pernah bisa ia sampaikan. Komunikasi kami menjadi perjalanan satu arah; kami berbicara, ia mendengar. Kami merawat, ia menerima.
Sebagai seorang caregiver demensia atau penyakit lainnya yang membungkam, hari-hari sering kali diisi dengan pertanyaan tanpa jawaban.
"Apakah ibu nyaman?"
"Apakah ada yang sakit?"
"Apakah ibu bahagia?"
Kami hanya bisa menebak lewat sorot matanya, lewat genggaman tangannya yang terkadang mengerat.
Namun, di tengah demensia itu, ada satu momen yang menjadi jawaban atas segala tanya. Momen itu adalah saat anak-anak dan cucu-cucunya datang berkumpul.
Ketika suara riang cucu-cucunya mengisi ruangan, ketika wajah anak-anak yang ia cintai mengelilinginya, sebuah keajaiban kecil terjadi.Â
Wajahnya yang biasanya tenang dan datar, perlahan merekah. Sebuah senyuman tulus terbit di bibirnya. Senyuman itu bukanlah senyum biasa. Itu adalah senyuman dengan seribu makna.
Dalam senyuman itu, kami melihat segalanya. Ada binar kebahagiaan yang tak terucap, ada rasa syukur yang meluap-luap. Seolah ia ingin berkata, "Terima kasih sudah di sini. Melihat kalian semua adalah obat terbaikku. Aku bahagia."Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!