Mohon tunggu...
Yusya Rahmansyah
Yusya Rahmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Siliwangi

Seorang mahasiswa yang besar di dua pulau di Indonesia sumatera dan jawa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pertaruhan Media dan Fungsi Pers, "Kugadaikan Independenku"

4 April 2020   15:48 Diperbarui: 4 April 2020   15:47 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tahu peran pers apa? Jika ditelisik ke UU no 40 tahun 1999, pada pasal tiga poin pertama berbunyi "Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial". 

Peran pers yang seperti itu sudah pasti terjadi di setiap media-media nasional maupun lokal. Namun, beberapa media nasional dan lokal jika ditelisik lebih dalam memiliki latar belakang yang sebenarnya tidak seperti pers yang seharusnya yaitu independen dan bebas dari tekanan pihak luar, agar lebih lantang menyuarakan hal-hal yang timpang. 

Beberapa media nasional seolah santai menanggapi posisinya sebagai pers yang merupakan bagian dari empat pilar demokrasi, media nasional memang menjalankan fungsinya sebagaimana pasal tiga poin pertama tadi. Namun, apakah media nasional masih merupakan pers yang sesuai? Yang independen dan menjadi kontrol sosial juga bebas dari tekanan pihak luar?

Media nasional bagi orang awam memang terlihat independen da seolah tidak ada sangkut paut pihak lain di dalamnya. Namun, tahukah anda bahwa konglomerat media di Indonesia sudah menggerogoti media nasional saat ini. 

Konglomerasi media di Indonesia memang bukan rahasia lagi. Kita tahu bahwa media-media besar memiliki orang-orang besar yang ada dibaliknya yang ikut menjalankan media tersebut. 

Apa yang dipertaruhkan ketika hal tersebut terjadi? Jurnalistik dan peran pers dipertaruhkan ketika keadaan konglomerasi media ini terjadi dan menjangkiti media-media nasional di Indonesia, yang siaran tevenya disaksikan puluhan ribu bahkan jutaan pasang mata di Indonesia dan beritanya dibaca setiap masyarakat di Indonesia. 

Sungguh ironis melihat keadaan pers di Indonesia, kerja jurnalistik seorang wartawan menjadi terbatas lantaran medianya dikuasai konglomerat media.

"Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh" Ross Tapsell. 

Kutipan kalimat Ross Tapsell pada kesimpulan di Bab II dalam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution. Buku Tapsell adalah riset doktoralnya dan sekaligus menjadi penelitan yang mengulas tentang media di Indonesia yang terbaru.  

Kalimat Tapsell di atas menunjukkan bahwa konglomerat media nasional memiliki kuasa dan pengaruh, kuasa dan pengaruh tersebut merujuk pada keadaan media nasional saat ini yang dikelilingi dan dikuasai oleh konglomerat media. Masihkah kita perlu percaya terhadap media apabila keadaannya seperti ini?

Media memang memerlukan dana yang besar untuk operasionalnya seperti menggaji wartawan,  mencetak majalah atau koran, mendanai perawatan situs beritanya, membeli alat-alat-alat untuk melakukan liputan dan macam-macam lainnya. 

Pendanaan yang menjadi penghambat dalam menjalankan kerja jurnalistik seorang wartawan di media nasional yang ternyata masuk dalam konglomerasi media. Sebut saja ER-CE-TE-I, milik mas Hary Tanoe, TV-WAN milik bang Aburizal, dan CNN "versi" Indonesia yang masuk dalam konglomerasi CTCorp milik si Anak Singkong mantan menteri lima bulan di periode pak SBY. Pendanaan yang besar dalam menjalankan media menjadi halangan utama dalam menjalankan media yang 100% independen dan sesuai fungsi pers. Inilah yang menjadi tantangan pegiat media di Indonesia, tantangan pendanaan dalam menjalankan operasional sebuah media. Tawaran menggiurkan pemilik modal (pengusaha) memang berat untuk ditolak. Tapi, independensinya, fungsi persnya juga jangan ikut dibeli juga dong ya, kasihan masyarakat selalu menerima berita formal yang sudah wajar diberitakan.

Efek dari pemilik modal atau konglomerat yang masuk ke dalam media memang tidak terlihat secara signifikan. Namun, memiliki potensi untuk sebuah media dikontrol oleh satu tangan. Yaitu, konglomerat-konglomerat penguasa media. 

Misalnya, kasus partai kuning tentu tidak akan disiarkan dan diberitakan di TV-WAN begitu juga apabila ada kasus partai burung biru tidak akan ada di saluran televisi yang memiliki slogan OKE... tersebut. Selain itu bisnis-bisnis konglomerat tersebut juga tidak akan tersentuh oleh media-media yang masih satu induk dengan pemilik konglomerasi media, apabila ada kasus yang menimpa salah satu bisnis konglomerat, media yang satu induk ini tentu tidak akan memberikan informasi terkait hal tersebut. 

Apakah ini yang disebut menjalankan kontrol sosial, sesuai fungsi pers, kerja jurnalistik, independensi. Cuma slogan saja seperti slogan OKE... milik ER-CE-TE-I.

Masyarakat bisa apa? Masyarakat saat ini hanya bisa diam, menonton televisi mereka, membaca berita yang ada dan  menikmati "kebohongan" jurnalistik yang ada saat ini. Tidak semudah itu! Masyarakat perlu sadar akan keadaan ini. 

Peran media alternatif yang dapat dibangun secara swadaya oleh masyarakat dalam hal ini pegiat jurnalistik yang mampu melawan arus besar media-media nasional yang ternodai tersebut, khususnya untuk media lokal. 

Selain itu peran pers kampus atau pers mahasiswa yang merupakan organisasi pers yang seharusnya masih suci sebab masih memegang idealisme mahasiswa juga dapat dimaksimalkan, setidaknya pers mahasiswa mampu memberitakan dan menginformasikan hingga mencapai wilayah kota tempat kampusnya berdiri, dan bukan hanya berita formal seperti yang dicekoki media-media ternodai tadi kepada masyarakat. Namun, informasi yang jarang dimunculkan di masyarakat, informasi yang baru dan menyadarkan masyarakat inilah maksud dari kontrol sosial yang ada di fungsi pers.

Pers dapat dikatakan sebagai hal ghaib di Indonesia, antara ada dan tiada. Sebab, media nasionalnya sudah tidak memegang prinsip jurnalisme lagi, dan kerja jurnalistik wartawannya dibatasi oleh kucuran dana segar dari hasil konglomerasi media demi menghidupi media agar tetap eksis dikalangan masyarakat yang sudah tersihir oleh frekuensi milik negara yang ternoda. 

Jadi, ya ada tapi tiada. Masyarakat perlu sadar akan keadaan ini, pers mahasiswa perlu menunjukkan idealismenya kembali jangan hanya diam dan menikmati keadaan yang semestinya dirubah oleh masyarakat dan juga pers mahasiswa sebagai media alternatif. 

Perusahaan media juga perlu sadar bahwa kucuran dana segar tidak dapat menyegarkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat lantaran dana segar justru menutup kerja jurnalistik wartawan, sebab, konglomerat tidak suka diganggu gugat. 

Jangan gadaikan independensi dan fungsi pers hanya demi modal! Sekian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun