Puisiku dibaca di antara mereka---dimamah makna, ditenggak sunyi,diksi diendus, dijelajahi hingga rongga jeda,
seolah ruh penyair menyusup di sela aksara yang hening.
Namaku terucap: sejiwa, katanya,
bagai kitab separuh tersurat, separuhnya lagi ditulis derita.
Lalu berhembus bisik:
"Penyair telah wafat dalam bait-baitnya sendiri."
Namun Nietzsche menyela dari jendela senyap---
bukan sebagai filsuf,
melainkan luka berwajah teduh
yang pernah kutemui di ambang mimpi.
Kuangguk pelan.
Sayup suara-suara Timur menyusur kembali,
menapaki lorong Nyamplungan,
mendaki jeda,
menyeberangi samudra kata yang gemetar.
Dari Padang dan Palembang datang sahabat pena,
Papua mengirim malam beraroma cendana.
Puisiku menjelma rakit rasa,
menyatukan kami dalam rampak makna---
huruf, bunyi, dan sunyi berpaut dalam tarian mesra.
Lahir saudara, lahir asmara---
rendang menyapa yang luka,
pempek menyusup ke urat memoriku,
gulai dan roti Maryam menyatukan lidah
di antara batu Papua dan Nyamplungan yang lirih berseru.
Lalu puisiku menggema:
"Jika budaya dan ilmu kauasingkan dari bumi,
bangsa ini terapung,
dan cucu-cicitmu---
tumbuh di atas akar yang tercerabut dari tanah."
Namun penyair dari Barat dan ilmuwan dari Timur bersua,
menulis cakrawala tanpa panji, tanpa peluru,
didayung penggede dari Tanimbar,
ditopang nakhoda dari Biak yang tahan gelombang badai.
Meski dunia gaduh oleh politik dan hukum yang bersilang,
kami bersetia:
bahasa adalah bahtera terakhir
yang menyelamatkan warisan dari karamnya sejarah.
Surabaya, 5-8-2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI