Kuingat roda itu berdenyut bagai nadi peradaban,
kau kayuh tanpa jeda, meski upah tak pernah sepadan.
Bagimu, gemerlap dunia hanyalah bayang semu,
yang kau tukar dengan sepiring nasi agar keluarga tak kelu.
Di bawah payung tua yang lusuh namun setia,
aku, tiga saudaraku, ayah dan ibu berlindung dari nestapa.
Peluhmu menetes bagai embun di helai ilalang pagi,
kau taburkan kasih tanpa pamrih, meski dunia enggan peduli.
Adik bungsu bertanya lirih, "Pa, kita ke alun-alun?"
"Iya, Nak. Kita rayakan kemerdekaan meski tanpa panggung."
Namun di kampung sunyi, 17 Agustus hanya gema yang redup,
karena kemiskinan meredam denting drum dan semangat yang hidup.
Bagi pelanglang asa, badai bukan ancaman,
melainkan simfoni yang mengiringi langkah keikhlasan.
Awan mendung dan gerimis sendu jadi kawan perjalanan,
sementara senyummu terukir abadi di wajah-wajah harapan.
Dalam ayunan becak yang berirama laksana napas subuh,
kaulah guru diam yang mengajarkan arti merdeka yang utuh.
Bahwa kebebasan bukan sekadar sorak dan bendera,
melainkan harapan kecil yang tumbuh dari kayuhan yang setia.
Di balik setiap kayuhan, tersemai janji yang tak pernah layu:
meski dunia enggan menuliskan namamu di batu,
namun namamu terpatri dalam denyut asa yang tak pupus waktu.
Dan kelak, saat bendera merah putih kukibarkan di langit biru,
akan kutulis namamu di sudutnya---sebagai penjaga mimpi dan pelita itu.
Surabaya, 9 agustus 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI