Kurikulum Merdeka dan program Profil Pelajar Pancasila sebenarnya sejalan dengan pemikiran kedua tokoh ini. Tapi implementasinya sering dangkal hanya jadi slogan atau kegiatan seremonial. Dengan mengadopsi metode Miskawaih (pembiasaan sistematis) dan Al-Ghazali (pembinaan spiritual), pendidikan karakter bisa lebih mendalam. Misalnya, program kegiatan sosial bukan hanya untuk memenuhi jam ekstrakurikuler, tapi dikombinasikan dengan refleksi spiritual tentang makna berbagi dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
2. Pendidikan Sejak Usia Dini
Keduanya sepakat bahwa pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini. Al-Ghazali menyebutnya iyadatu as-shibyan (pendidikan anak usia dini). Di sinilah peran keluarga sangat penting. Orang tua bukan hanya menyekolahkan anak, tapi juga harus menjadi teladan dan memberikan lingkungan yang mendukung. Pemikiran Miskawaih tentang pembiasaan sangat aplikatif di sini anak dibiasakan shalat, jujur, dan sopan sejak kecil. Sementara pemikiran Al-Ghazali mengingatkan bahwa pembiasaan itu harus disertai dengan penanaman kecintaan kepada Allah, bukan hanya takut hukuman.
3. Peran Guru sebagai Pendidik Holistik
Kedua tokoh sama-sama menempatkan guru di posisi sentral. Tapi keduanya punya penekanan berbeda yang justru saling melengkapi. Miskawaih menginginkan guru yang cerdas dan rasional, bisa menjelaskan secara logis mengapa sesuatu baik atau buruk. Al-Ghazali menginginkan guru yang ikhlas, berakhlak mulia, dan menjadi teladan spiritual. Guru ideal adalah yang menggabungkan keduanya kompeten secara akademik sekaligus berintegritas secara moral dan spiritual.
Tantangan Implementasi yang Perlu Dihadapi
Meski konsepnya bagus, ada beberapa tantangan praktis yang harus dihadapi:
Pertama, pendekatan Al-Ghazali yang sangat spiritual mungkin sulit diterapkan di sekolah umum yang siswanya beragam latar belakang. Tidak semua siswa atau keluarga punya komitmen spiritual yang sama. Solusinya, aspek spiritual disesuaikan dengan tingkat kesiapan siswa dimulai dari yang sederhana seperti berdoa sebelum belajar dan berbuat baik, baru bertahap ke yang lebih mendalam.
Kedua, pendekatan Miskawaih yang sangat rasional bisa terlalu kaku untuk anak-anak. Penelitian psikologi modern menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja belum sepenuhnya bisa berpikir abstrak dan mengendalikan diri dengan rasio. Mereka butuh lebih banyak contoh konkret, bimbingan langsung, dan struktur eksternal. Di sinilah metode Al-Ghazali tentang keteladanan dan pendekatan hati menjadi pelengkap yang penting.
Ketiga, yang paling krusial adalah kualitas pendidik. Tidak mungkin menerapkan pemikiran kedua tokoh ini kalau gurunya sendiri tidak paham atau tidak mencontohkan. Ini butuh reformasi besar dalam sistem pendidikan guru bukan hanya pelatihan metodologi, tapi juga pembinaan karakter dan spiritualitas guru itu sendiri.
Kesimpulan: