Mohon tunggu...
Yus Alvar Saabighoot
Yus Alvar Saabighoot Mohon Tunggu... Dosen

Saya adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Terbuka (UT). Dengan pengalaman mengajar lebih dari 6 tahun, saya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini melalui pendekatan inovatif dan berbasis penelitian. Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pelatihan guru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Dasar Tanpa Batas : Mengupas Potensi Deep Learning untuk Generasi Alpha

20 September 2025   09:23 Diperbarui: 20 September 2025   09:23 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada awal abad ke-21, dunia pendidikan menghadapi salah satu pergeseran paradigmatik paling signifikan dalam sejarahnya. Era digital telah mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan, yang paling penting, belajar. Di pusat revolusi ini adalah Generasi Alpha, sekelompok individu yang unik karena mereka tidak hanya hidup dengan teknologi mereka tumbuh bersamanya. Lahir setelah tahun 2010, anak-anak ini adalah digital natives sejati yang terbiasa dengan interaksi instan, konten yang kaya secara visual, dan personalisasi yang didorong oleh algoritma. Mereka dengan mudah beralih antara tablet, ponsel pintar, dan smart device lainnya, menganggap teknologi bukan sebagai alat, melainkan sebagai perpanjangan dari diri mereka sendiri.

Foto Ilustrasi Deep Learning Generasi Alpha ( Sumber: Gemini)
Foto Ilustrasi Deep Learning Generasi Alpha ( Sumber: Gemini)

Generasi Alpha menghadapi tantangan dalam pendidikan karena kebutuhan unik mereka sebagai penduduk asli digital. Metode pengajaran tradisional sering gagal melibatkan mereka, tidak memiliki pengalaman mendalam dan pribadi yang mereka butuhkan. Generasi ini memprioritaskan kesehatan mental, kesadaran lingkungan, dan kreasi bersama, yang memerlukan pedagogi dan kurikulum yang diperbarui. Sistem pendidikan harus beradaptasi untuk memberikan pelatihan dan peluang yang relevan yang selaras dengan perspektif internasional dan kecerdasan teknologi mereka, memastikan mereka siap menghadapi kompleksitas dunia masa depan. (Kohli, A., & Arora 2024)

Model pengajaran yang seragam berdampak negatif pada anak-anak dengan gaya belajar yang berbeda dengan mengabaikan kebutuhan unik mereka, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengakses materi pendidikan secara efektif. Pendekatan satu ukuran yang cocok untuk semua ini mengabaikan keragaman dalam preferensi belajar, berpotensi mengecualikan pemikir kreatif berbakat. Desain universal untuk pembelajaran menganjurkan berbagai metode instruksional yang melayani gaya belajar yang beragam, memastikan bahwa semua siswa, termasuk mereka yang cacat, dapat terlibat dengan dan memahami materi, yang pada akhirnya memperluas kumpulan ilmuwan potensial. (Henry 2005)

Namun, sistem pendidikan tradisional seringkali gagal mengimbangi dinamika ini. Model pengajaran yang seragam, di mana satu guru mengajar seluruh kelas dengan metode yang sama, menjadi semakin tidak efektif. Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda ada yang visual, auditori, atau kinestetik serta kecepatan pemahaman yang unik. Di sekolah dasar, di mana fondasi pengetahuan dan karakter dibangun, ketidakmampuan untuk memberikan perhatian personal kepada setiap siswa dapat menyebabkan kesenjangan belajar yang melebar. Guru, yang memikul beban kurikulum yang berat dan tugas administratif yang tak ada habisnya, seringkali tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk menganalisis dan merespons kebutuhan individu setiap siswa secara optimal.

Tantangan ini menuntut kita untuk berpikir di luar kotak dan mencari solusi yang tidak hanya modern, tetapi juga transformatif. Kita memerlukan pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan Generasi Alpha yang haus akan interaksi, visualisasi, dan umpan balik yang cepat. Kita perlu alat yang dapat membebaskan guru dari tugas-tugas rutin, memungkinkan mereka untuk kembali fokus pada esensi pengajaran membangun hubungan, menumbuhkan kreativitas, dan menginspirasi rasa ingin tahu.

Dalam pencarian solusi untuk tantangan pendidikan ini, kita menemukan salah satu kekuatan pendorong utama di balik inovasi teknologi saat ini Deep Learning atau pembelajaran mendalam. Untuk memahami deep learning, bayangkan seorang anak kecil yang belajar mengenali kucing. Orang tuanya tidak memberikan definisi matematis tentang kucing; sebaliknya, mereka menunjukkan banyak gambar dan contoh kucing yang berbeda, kucing ras besar, kucing kecil berbulu keriting, kucing dalam buku cerita, dan sebagainya. Otak anak itu secara bertahap belajar mengenali pola dan fitur yang konsisten dari semua contoh tersebut (empat kaki, ekor, telinga), memungkinkannya untuk mengidentifikasi kucing baru yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Deep Learning bekerja dengan cara yang sangat mirip. Ini adalah cabang dari kecerdasan buatan (AI) yang menggunakan struktur yang disebut jaringan saraf tiruan (artificial neural networks) yang meniru cara kerja otak manusia. Jaringan ini terdiri dari banyak lapisan "neuron" buatan yang dapat memproses sejumlah besar data gambar, teks, suara untuk menemukan pola, memprediksi, dan membuat keputusan. Yang membedakan Deep Learning adalah kemampuannya untuk "belajar" secara mandiri dari data yang diberikan tanpa perlu diprogram secara eksplisit untuk setiap skenario. Ini adalah kekuatan yang luar biasa.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sudah berinteraksi dengan aplikasi Deep Learning tanpa menyadarinya. Fitur pengenalan wajah di ponsel Anda, rekomendasi film yang disarankan oleh layanan streaming favorit, atau kemampuan asisten suara untuk memahami perintah Anda semua itu didukung oleh deep learning. Potensi untuk mengaplikasikan kekuatan ini dalam konteks pendidikan sangatlah besar. Deep Learning tidak bertujuan untuk menggantikan guru, tetapi untuk memberdayakan mereka, menyediakan alat yang dapat menganalisis data pembelajaran siswa dengan kecepatan dan skala yang tidak mungkin dilakukan secara manual.

Mengingat potensi transformatif ini, tulisan ini disusun dengan tujuan utama untuk menjadi panduan komprehensif bagi para mahasiswa, guru, dan praktisi pendidikan yang ingin memahami dan memulai perjalanan Deep Learning di lingkungan sekolah dasar. Tujuan penulis bukan untuk membuat pembaca menjadi ahli AI, melainkan untuk membuka wawasan tentang apa yang mungkin terjadi dan bagaimana langkah-langkah praktis dapat diambil. Secara spesifik, tulisan ini akan mengupas tuntas tiga pilar utama:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun