Mohon tunggu...
Titik Yulianti
Titik Yulianti Mohon Tunggu... -

Asli ngapak

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KKN di Desa "Celana Dalam"

13 November 2012   06:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:30 22385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar adik-adik kost saya mulai menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata), membuat ingatan saya melayang pada masa 2 tahun silam.  Masa-masa saya masih bergelar mahasiswa.  Masa ketika saya masih unyu-unyu, dan begitu antusias menyambut kegiatan kampus untuk terjun ke masyarakat.

Saat itu saya tengah mengikuti pembekalan KKN di kampus.  Beberapa orang mulai berbisik-bisik membicarakan tempat yang akan mereka singgahi dalam kegiatan itu.  Hari itu memang pengumuman penempatan telah terpampang. Sayangnya saya belum sempat melihatnya.  Ponsel bergetar tanda sms masuk, saya pun membukanya. Rupanya pesan dari sahabat saya.  Dia sudah melihat pengumuman, dan coba memberi tahu tempat KKN saya nanti.

Membaca sms itu membuat kening berkerut dan mulut melongo.  Teman saya bilang, saya akan ditempatkan di Kabupaten Pemalang.  Nama kecamatannya unik juga, Watukumpul.  Apa di sana banyak batu yang pada ngumpul?  Kalau iya, letaknya pasti di pegunungan.  Tapi bukan itu yang bikin kening saya berkerut dan mulut melongo.  Saya bereaksi seperti itu karena membaca nama desanya yang super duper ajaib. Saking tidak percayanya, saya sampai berpikir mungkin itu typo.  Yang benar saja, masa ada nama desa sebokep itu.

Desa cawet. Yup benar, bagi anda yang orang Jawa mungkin akan langsung tertawa.  Cawet, alias cangcut, aka underwear.  Sebuah segitiga berharga dan dipakai semua orang, tapi tidak untuk dipamerkan, kecuali anda manusia super.  Dan itu menjadi nama sebuah desa.  Nama nyentrik itu benar-benar memberikan efek yang unik pada saya.  Saya jadi rada malu-malu geli tiap ditanya di mana saya bakal di tempatkan.

"Tik, kamu dapet di mana?"

"Di Pemalang."

"Sama dong! Kecamatannya apa?"

"Watukumpul."

"Wah sama, aku juga di Watukumpul.  Kamu di desa apa?"

"Hehehe... "

Tiap ditanya rada bingung menjawabnya.  Apa mending saya jawab Desa Segi Tiga Sensor? Atau mungkin Desa Underwear?  Kadang malah saya jawab begini, "Desa KKN-ku masih sodaraan sama desanya Sponge Bob, Bikini Bottom." Entah bagaimana, bagi telinga saya kata cawet berasa terlalu vulgar.  Bukan cuma vulgar, tapi juga katro. Kata celana dalam akan lebih ringan untuk diucapkan dan didengar dari pada kata cawet. Setiap saya bilang Desa Cawet, tiap orang bakal ngakak.  Cuma orang yang tidak tahu arti kata cawet yang tidak akan tertawa.

Kebanyakan mereka akan bertanya-tanya seperti ini, "Pemalang itu masih suku Jawa kan? Masa ada desa dikasih nama cawet.  Apa di sana cawet artinya beda sama di sini?"  Bukan hanya teman-teman, bahkan para dosen pun ikut penasaran.  Akhirnya mereka ngasih sebuah misi selama KKN.  Tolong selidiki asal-usul nama desa ajaib itu!

Hari KKN tiba, dalam perjalanan saya dan teman-teman terus menebak seperti apa desa yang akan kami tempati nanti.  Beberapa memang sudah survey lokasi, tapi kami yang tidak ikut hanya bisa membayangkan saja.  Sepanjang perjalanan kami terpesona dengan indahnya alam di Pemalang.  Apalagi desa yang akan kami tuju ternyata nun jauh di pelosok pegunungan.  Saya sampai tidak berkedip ketika bisa melihat air terjun dari jalan yang kami lewati.

Untuk menuju Desa Cawet, kita harus melewati jalan naik turun dan berkelok. Desa ini dipagari oleh pegunungan.  Udaranya cukup sejuk, tapi tidak dingin seperti di pegunungan pada umumnya.  Padahal saya sudah membawa perlengkapan untuk menghangatkan diri.  Dosen pembimbing bilang kecamatan yang akan kami tuju akan sangat dingin.  Memang di perjalanan terasa dingin, terutama di Kecamatan Belik.  Tapi makin naik ke pegunungan, udaranya justru semakin hangat. Katanya itu karena desa kami dikelilingi gunung.

Baiklah, sekarang saatnya menjawab misteri penamaan Desa Cawet.  Di hari pertama kedatangan kami, saya langsung mengajukan pertanyaan itu pada Pak Kades. Kebetulan kami tinggal di rumah Kepala Desa.  Satu desa hanya ada satu posko, dan berisi lima orang.  Kelompok saya terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki.  Sebenarnya ada seorang gadis lagi di posko, putrinya Pak Kades.  Makannya kedua pria di kelompok saya jadi betah tinggal bareng kembang desa.  Udah cantik, alim pula.

Menurut orang-orang di sana, nama cawet di ambil dari nama nenek moyang mereka.  Namanya Cawing Tali.  Untuk mempermudah akhirnya disingkat menjadi Cawet.  Kalau menurut saya sebenarnya singkatan itu masih kurang pas. Cawing Tali seharusnya disingkat Catali, Wingli, atau Cawit, bukannya Cawet.  Tapi yah, anggap saja penduduk desa itu memang punya selera humor yang bagus.  Mengenai Eyang Cawing Tali sang leluhur, beliau dimakamkan di desa itu.  Makamnya pun masih diziarahi sampai sekarang.

Para penghuni Cawet sama sekali tidak bangga dengan nama nyentrik desanya.  Salah satu pejabat desa pernah berkata, "Orang sini kalau lagi di perantauan sering malu kalau menyebut nama desa sendiri.  Misal mereka ketemu sama orang yang sama-sama dari Watukumpul.  Nanti kalau ditanya dari desa mana, mending menyebut nama desa tetangga.  Mereka malu."

Mungkin anda bertanya-tanya, kalau malu dengan nama desa sendiri, kenapa tidak diganti saja nama desanya? Saya dan teman-teman juga seringkali bertanya-tanya seperti itu.  Mungkin mereka enggan mengganti nama yang telah begitu melekat sekian lama.  Atau mungkin juga nama itu bawa hoki. Hehewww...

Banyak hal yang membuat ingatan saya tidak mudah luntur mengenai KKN yang bersejarah.  Jalanan di Desa Cawet naik turun.  Melewatinya akan serasa naik roller coaster.   Jadi jarang sekali ada orang bersepeda, dan tidak satupun orang naik becak.  Bisa-bisa betis tukang becaknya mbeleduk waktu menggenjot. Transportasi umum di desa itu adalah mobil pick up. Sudah pemandangan biasa jika melihat anak-anak sekolah berhimpitan di mobil pick up waktu berangkat sekolah.  Terus uniknya lagi, tukang bakso di desa itu cuma beroperasi dua kali seminggu.  Yah, dua kali seminggu juga si Abang Bakso pasti pegel-pegel tuh, dorong gerobak naik turun.

Pemandangan di desa itu cukup mengagumkan.  Kami berlima berasa lagi liburan.  Bangun tidur saya senang duduk di teras rumah sambil menikmati pemandangan.  Dari teras rumah tampak pegunungan hijau.  Kabut menutupi badan gunung dan menyisakan puncaknya.  Tampak seperti pulau yang mengapung di atas awan. Ditambah secangkir teh di tangan, lengkap sudah surga kecil saya.

Pada masa awal KKN, hampir tiap hari mati listrik. Jadi tiap malam kami semua berkumpul di ruang tamu dengan diterangi lilin. Selain itu di sana hanya sinyal dari satu operator telepon selular yang berfungsi. Saya yang beda operator terpaksa harus berganti.  Itupun kami tidak benar-benar leluasa memakainya.  Jika ingin bertelepon, kami akan pergi ke halaman.

Untuk melaksanakan program, hampir setiap hari kami harus datang ke balai desa.  Perjalanan posko - balai desa selalu terasa seru.  Kami harus bersepeda motor karena jarak yang jauh.  Dari posko, kami akan melewati rumah-rumah penduduk.  Rasanya seperti seleb dadakan.  Dengan mengenakan jas almamater, helm dibuka, terus cengar-cengir pada orang-orang yang kami lewati.  Kadang juga melambaikan tangan bak miss universe.  Anak-anak kecil yang kami lewati biasanya akan menyoraki kami dan memanggil-manggil, "Kakak KKN!"

Setelah melewati rumah penduduk, kami akan disuguhi pemandangan yang cantik di kiri kanan.  Areal hutan diselingi lembah, dan berpagar pegunungan membentang.  Semuanya sangat hijau dan masih asri.  Dari jalan, kita bisa melihat sungai yang mengalir indah di lembah.   Salah satu dusun bahkan terletak di dalam hutan.    Dusun yang satu itu memang unik. Sayangnya saya lupa apa nama dusun itu. Untuk mencapainya kami harus memasuki jalan kecil masuk ke hutan.  Jalan itu sangat curam.  Saking curamnya, salah satu teman saya sampai nyetir motor sambil nangis-nangis.  Pulangnya tentu saja kami harus menanjak naik. Motor yang saya tumpangi bahkan berhenti di tengah tanjakan, dan sempat mundur lagi karena tidak kuat. Saya yang kaget refleks turun dari motor, lalu berlari menahannya agar tidak mundur ke bawah.

Dibanding dusun yang lain di Cawet, dusun di dalam hutan itu bisa dikatakan cukup tertinggal. Dari sisi pendidikan, sebagian besar hanya tamat SD.  Hanya sebagian kecil anak yang melanjutkan hingga SMP. Pernikahan dini adalah hal yang lazim di sana.  Bahkan putri kepala dusun dianggap agak telat menikah, karena baru berumah tangga di usia 17 tahun.  Mendengar hal itu membuat saya serasa mendadak  jadi perawan tua.

Menurut bidan yang bertugas di desa itu, pernikahan dini di sana disebabkan karena beberapa faktor. Pendidikan penduduk yang rendah, letaknya yang terisolir, juga karena kesulitan ekonomi.  Di dusun itu kebanyakan orang masih memakan nasi jagung karena beras dinilai terlalu mahal.  Selain itu masih ada satu faktor lagi, yaitu penataan rumah penduduk.  Untuk yang terakhir, Ibu bidan desa yang menambahkannya sendiri.  Rumah-rumah di sana bergerumbul dan saling berhimpitan. Selain itu posisi rumah pun semrawut. Ada yang saling berhadapan, saling membelakangi, ada pula yang berurutan. Kami biasanya melakukan kegiatan di rumah kepala dusun. Dari ruang tamu, kami akan berhadapan langsung dengan sumur milik tetangga depan.  Suatu kali saya malah sempat melihat orang mandi dengan cueknya di sumur itu.

"Bayangkan saja, para pemuda di sana cowo cewe tiap hari ketemu.  Tiap hari bisa lihat mereka lagi mandi. Gimana nggak pengen cepet nikah," canda bu bidan suatu kali.

KKN berakhir penuh haru.  Kami anak-anak KKN saling berpelukan dengan induk semang sambil menahan air mata.  Tapi bendungan itupun pecah ketika kami harus berpamitan dengan anak-anak di tempat KKN. Setiap hari anak-anak kecil berdatangan ke posko untuk bermain dan belajar.  Melihat mereka menangisi kepergian kami, membuat kami merasa sangat terharu.

Suasana haru terus berlanjut hingga perjalanan pulang.  Saya dan dua teman perempuan saling berhimpitan di mobil pick up, sementara yang laki-laki mengendarai motor.  Di dalam mobil kami bertiga tidak henti-hentinya menangis.  Rasanya sulit sekali mengendalikan air mata agar berhenti mengalir.  Setiap kali ingat kenangan selama KKN, mata saya akan basah kembali. Apalagi keadaan saat itu sangat melo dramatis, dengan gerimis yang tidak juga reda.  Pak Sopir saat itupun menyalakan musik milik grup band kotak.  Jadi kami menangis diiringi gerimis dan alunan lagu masih cinta (tik..tik.tik...)

Tik..tik..tik.. air mataku

Biar terjatuh dalam hati...

(Tadinya pengen dikasih foto untuk memperlihatkan pemandangan Desa Cawet yang indah.  Tapi setelah mengobrak-abrik koleksi foto KKN, yang ada malah foto anak-anak KKN yang pada narsis.  Y sudahlah...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun