Setelah melewati rumah penduduk, kami akan disuguhi pemandangan yang cantik di kiri kanan. Â Areal hutan diselingi lembah, dan berpagar pegunungan membentang. Â Semuanya sangat hijau dan masih asri. Â Dari jalan, kita bisa melihat sungai yang mengalir indah di lembah. Â Salah satu dusun bahkan terletak di dalam hutan. Â Â Dusun yang satu itu memang unik. Sayangnya saya lupa apa nama dusun itu. Untuk mencapainya kami harus memasuki jalan kecil masuk ke hutan. Â Jalan itu sangat curam. Â Saking curamnya, salah satu teman saya sampai nyetir motor sambil nangis-nangis. Â Pulangnya tentu saja kami harus menanjak naik. Motor yang saya tumpangi bahkan berhenti di tengah tanjakan, dan sempat mundur lagi karena tidak kuat. Saya yang kaget refleks turun dari motor, lalu berlari menahannya agar tidak mundur ke bawah.
Dibanding dusun yang lain di Cawet, dusun di dalam hutan itu bisa dikatakan cukup tertinggal. Dari sisi pendidikan, sebagian besar hanya tamat SD.  Hanya sebagian kecil anak yang melanjutkan hingga SMP. Pernikahan dini adalah hal yang lazim di sana.  Bahkan putri kepala dusun dianggap agak telat menikah, karena baru berumah tangga di usia 17 tahun.  Mendengar hal itu membuat saya serasa mendadak  jadi perawan tua.
Menurut bidan yang bertugas di desa itu, pernikahan dini di sana disebabkan karena beberapa faktor. Pendidikan penduduk yang rendah, letaknya yang terisolir, juga karena kesulitan ekonomi. Â Di dusun itu kebanyakan orang masih memakan nasi jagung karena beras dinilai terlalu mahal. Â Selain itu masih ada satu faktor lagi, yaitu penataan rumah penduduk. Â Untuk yang terakhir, Ibu bidan desa yang menambahkannya sendiri. Â Rumah-rumah di sana bergerumbul dan saling berhimpitan. Selain itu posisi rumah pun semrawut. Ada yang saling berhadapan, saling membelakangi, ada pula yang berurutan. Kami biasanya melakukan kegiatan di rumah kepala dusun. Dari ruang tamu, kami akan berhadapan langsung dengan sumur milik tetangga depan. Â Suatu kali saya malah sempat melihat orang mandi dengan cueknya di sumur itu.
"Bayangkan saja, para pemuda di sana cowo cewe tiap hari ketemu. Â Tiap hari bisa lihat mereka lagi mandi. Gimana nggak pengen cepet nikah," canda bu bidan suatu kali.
KKN berakhir penuh haru. Â Kami anak-anak KKN saling berpelukan dengan induk semang sambil menahan air mata. Â Tapi bendungan itupun pecah ketika kami harus berpamitan dengan anak-anak di tempat KKN. Setiap hari anak-anak kecil berdatangan ke posko untuk bermain dan belajar. Â Melihat mereka menangisi kepergian kami, membuat kami merasa sangat terharu.
Suasana haru terus berlanjut hingga perjalanan pulang. Â Saya dan dua teman perempuan saling berhimpitan di mobil pick up, sementara yang laki-laki mengendarai motor. Â Di dalam mobil kami bertiga tidak henti-hentinya menangis. Â Rasanya sulit sekali mengendalikan air mata agar berhenti mengalir. Â Setiap kali ingat kenangan selama KKN, mata saya akan basah kembali. Apalagi keadaan saat itu sangat melo dramatis, dengan gerimis yang tidak juga reda. Â Pak Sopir saat itupun menyalakan musik milik grup band kotak. Â Jadi kami menangis diiringi gerimis dan alunan lagu masih cinta (tik..tik.tik...)
Tik..tik..tik.. air mataku
Biar terjatuh dalam hati...
(Tadinya pengen dikasih foto untuk memperlihatkan pemandangan Desa Cawet yang indah. Â Tapi setelah mengobrak-abrik koleksi foto KKN, yang ada malah foto anak-anak KKN yang pada narsis. Â Y sudahlah...)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI