Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Atletik Pilihan

Haornas: ke Timur, ke Atletik

15 September 2022   08:56 Diperbarui: 15 September 2022   09:18 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saran saya: Kita perlu konsen ke cabor (cabang olahraga) atletik. Juga ke bagian Timur Indonesia. Dua minggu sebelum Haornas ini Presiden kita meresmikan sekolah sepakbola bernama Papua Football Academy (PFA). PFA berlokasi di Kota Timika, Papua, merupakan sekolah formal dan pelatihan sepak bola bagi putra Papua yang ingin mengembangkan ilmu sepak bola guna melahirkan siswa-siswa yang kompetitif, kreatif, serta berdaya saing.

PFA diikuti oleh 30 putra Papua setelah melalui proses seleksi pencarian bakat yang kompetitif dan transparan. Adapun siswa yang terpilih akan memperoleh beasiswa penuh selama 2 tahun untuk belajar sepakbola.

Memang tidak salah langkah Presiden meresmikan sekolah sepakbola di Jayapura. Dan tentunya perlu apresiasi tersendiri dalam pemilihan Papua menjadi tuan rumah PON tahun lalu (semestinya tahun 2020 namun karena wabah pandemi baru terselenggara tahun 2021). Tetapi ada perihal yang dilupakan bahwa semestinya bukan sepakbola.

Di era lampau, Papua merupakan lumbung salah satu cabang olahraga yang saat ini dilupakan. Yaitu atletik. Wilayah Papua -bersama dengan daerah timur lainnya yaitu Maluku dan NTT- pernah menyumbang pelari yang preatasinya sampai ke level Asia.

Kita dulu mengenal para atlet cabor atletik dari bumi Papua. Ada Geraldus Maeno Balagaize, Timothius Sokai Ndiken, lalu "manusia terkuat Asia Tenggara" Frans Mahuse karena juara dasalomba, then Osianus Kahol, dan Vincent Gebze dan Ponsianus Kahol.

Sedangkan barisan mantan atlet dari Indonesia Timur lainnya misalnya dari Maluku yaitu Emma Tahapary (sempat menjadi anggota tim Asia di kejuaraan dunia atletik nomor estafet, era 80-an), Henny Maspaitella, Martha Lekransy, Irene Joseph, dan Viera Hetharie. 

Demikian juga Alex Resmol, Julius Leuwol, dan Novi Persulessy. Mereka ini ratu dan raja lintasan pada masa lalu. Kini posisi mereka digantikan pelari lebih muda seangkatan Alvina Tehupeiory. Dari NTT yang lejen adalah atlet marathon Eduardus Nabunome (almarhum tahun 2020).

Prioritas ke bagian Timur harus dipertahankan. Namun sasaran jenis olahraganya harus lebih tepat. Sepakbola memang menjadi olahraga nomor satu di Indonesia (bahkan di dunia kalau dilihat dari jumlah fansnya). Namun apabila dilihat dari sumbangannya kepada medali di ajang multi event, maka atletik jauh lebih banyak. 

Seperti di Sea Games/ Asian Games/ Olimpiade, atletik memberi porsi medali sampai hampir 50 buah. Seperti SG di Hanoi beberapa bulan lalu, dari 47 medali emas atletik, Indonesia hanya mendapat 3 (tiga) buah. Bandingkan dengan tuan rumah Vietnam yang mampu meraih 22 emas, kemudian Thailand 12 keping emas. Atau malah dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing mendapatkan 5 (lima) emas.

Dulu kita memiliki Bob Hasan (almarhum) sebagai ketua umum PASI. Banyak sumber menyebutkan bahwa Bob Hasan mengeluarkan kocek dari kantung sendiri untuk membiayai perlombaan atletik di Nusantara ini. 

Memang berbeda dengan 3 (tiga) olahraga games yang sangat populer di Indonesia -yaitu sepakbola, bulutangkis, dan bola voli- yang ibarat kata dilempar ke pasar pun sudah ada supply-demand yang pihak swastapun mau berebutan mendanai, Namun untuk atletik, sepertinya keterlibatan negara harus lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Atletik Selengkapnya
Lihat Atletik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun