Kini aku tahu, impian tidak berakhir di Popda. Ia hanya permulaan dari perjalanan panjang. Dan meskipun jalan itu penuh liku, aku siap menjalaninya.
Karena di lintasan ini, aku tak hanya bertanding. Aku tumbuh.
Setelah Popda usai, aku merenungi perjalanan yang telah kulalui. Dari awal hanya anak desa di Kedu yang berlatih sendirian dengan raket tua, hingga kini berdiri di antara barisan atlet muda berbakat di tingkat kabupaten. Perjalanan itu membentukku, bukan hanya sebagai atlet, tapi juga sebagai pribadi yang kuat dan tangguh.
Setiap akhir pekan aku kembali ke rumah, membawa cerita-cerita kecil dari puslatkab. Ayah dan ibu selalu menyambutku dengan senyum bangga. Meskipun mereka jarang menunjukkan secara langsung, aku tahu mereka menyimpan harapan besar padaku. Kadang ibu menyelipkan pesan-pesan sederhana seperti, "Jangan lupa sholat, nak," atau "Ingat makan, jangan sampai sakit." Hal-hal kecil itu yang meneguhkan langkahku.
Di sekolah, aku mulai dikenal bukan karena ketampanan atau gaya, tapi karena perjuangan. Guru olahraga sering menjadikanku contoh ketika membahas semangat juang. Teman-teman mulai menghargai kerja keras, dan beberapa adik kelas mulai bertanya tentang latihan dan cara ikut seleksi. Aku tak pernah menyangka bisa menjadi inspirasi.
Meskipun hubunganku dengan Meila tak pernah berkembang lebih jauh, aku tetap bersyukur pernah mengenalnya. Kadang aku melihatnya dari kejauhan, masih dikelilingi banyak orang. Tapi aku tak lagi merasa minder atau canggung. Aku belajar menerima bahwa beberapa hal memang tak harus dimiliki untuk bisa memberi makna.
Kini, aku tengah menyiapkan diriku untuk menghadapi Popda berikutnya. Aku menetapkan target baru, bukan sekadar menang, tapi juga memperbaiki teknik dan meningkatkan stamina. Pelatih menyarankan agar aku mulai mengikuti turnamen kecil sebagai persiapan. Aku setuju.
Malam hari, setelah semua latihan selesai, aku sering duduk di teras rumah memandang bintang. Di sana, aku menulis mimpi-mimpiku di buku catatan kecil. Mimpi untuk membawa harum nama daerahku. Mimpi menjadi atlet nasional suatu hari nanti. Dan mimpi untuk terus tumbuh, meski tanpa cinta yang aku inginkan.
Karena hidup bukan tentang apa yang bisa kita miliki, tapi tentang bagaimana kita menjadikan setiap langkah berarti.
Suatu pagi, pelatih mengadakan simulasi pertandingan internal. Kami dibagi menjadi dua tim dan diminta bertanding dengan semangat kompetisi sungguhan. Meski hanya latihan, ketegangan terasa di udara. Aku ditunjuk menjadi kapten timku. Ini pertama kalinya aku dipercaya memimpin rekan-rekan atlet, dan aku merasa tertantang.
Pertandingan berlangsung sengit. Ada rasa lelah, gugup, bahkan frustrasi, namun juga semangat yang menggebu. Ketika akhirnya tim kami menang, bukan kebanggaan yang pertama kali muncul di benakku, melainkan rasa syukur. Aku melihat teman-teman satu tim saling menepuk bahu, tertawa, dan memberi semangat. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar individu.