Menjelang Popda, rasa gugup makin menjadi-jadi. Tapi aku belajar mengelola tekanan. Aku mulai menulis jurnal latihan dan perasaanku. Dalam diam, aku mulai menyadari bahwa dunia olahraga bukan sekadar fisik, tapi juga mental.
Ketika hari pertandingan tiba, aku berdiri di lapangan dengan kepala tegak. Lawan-lawan berat sudah menanti. Rasa takut sempat menyergap, tapi aku mengingat seluruh peluh yang telah jatuh, semua rasa sakit yang telah kulalui.
Aku bermain dengan hati. Setiap reli aku nikmati, setiap poin kurayakan dalam hati.
Hasil akhirnya? Aku tidak mendapat medali emas. Tapi aku menang atas diriku sendiri. Aku pulih, aku bertanding, dan aku tetap berdiri.
Beberapa hari setelah pulang dari Popda, aku kembali ke sekolah. Di lorong kelas, aku melihat Meila. Dia tersenyum, tapi kali ini ada jarak. Mungkin karena waktu yang lama, atau mungkin karena memang sudah waktunya begitu. Kami hanya saling menyapa seperti teman lama.
"Selamat ya, Yuska. Kamu hebat. Aku lihat di Instagram, banyak yang bangga sama kamu," katanya pelan.
Aku menjawab, "Terima kasih. Maaf aku jarang kabar. Aku hanya ingin fokus."
"Aku mengerti kok. Fokus pada mimpi itu penting."
Aku tersenyum. Tidak ada lagi pengharapan, tidak juga penyesalan. Cinta mungkin belum berpihak, tapi impian telah memberiku rasa cukup.
Hari-hari berlalu, dan walau hubungan kami tak berkembang, aku tetap bersyukur pernah mengenalnya. Mungkin dalam skenario hidup ini, Meila hanya hadir sebagai penyemangat, bukan tujuan. Kadang cinta memang tak harus memiliki, cukup untuk dikenang dan dijadikan semangat menapaki langkah selanjutnya.
Aku kembali ke lapangan dengan semangat baru. Pelatih bilang akan ada pemusatan latihan jangka panjang untuk pembinaan atlet muda. Aku mendaftarkan diri tanpa ragu. Aku ingin terus melaju.