Subuh masih gelap ketika aku sudah berdiri di depan gedung GOR tua di pinggir kota. Tangan masih dingin, jari-jari kaku, tetapi raket di genggamanku terasa seperti bagian dari tubuhku. Sejak SMP, lapangan ini menjadi rumah keduaku. Namaku Yuska, siswa kelas 10 SMA N 3 Temanggung, dan mimpiku sederhana: membawa nama kabupatenku dalam ajang Popda.
Namun, jalannya tidak pernah sederhana.
Setiap pagi aku berlatih, sebelum matahari menyapa. Sepulang sekolah, aku kembali berlatih hingga malam. Tubuh lelah, nilai akademik terkadang tidak stabil, dan komentar orang-orang yang mempertanyakan masa depan seorang atlet menjadi makanan seharihari. Tetapi aku tidak peduli. Aku yakin, tidak ada usaha yang sia-sia jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Di sekolah, aku bukan siapa-siapa. Jauh berbeda dengan Meila Shala Astari---siswi tercantik dan paling terkenal di angkatan kami. Rambut panjangnya selalu rapi, kulitnya cerah, dan senyumnya mampu membungkam riuh kelas dalam sekejap. Banyak laki-laki mencoba mendekatinya, dari ketua OSIS, anak basket, hingga mereka yang hanya berharap sekadar mendapat balasan senyum.
Aku tidak pernah berharap terlalu tinggi. Tapi sejak Meila menjadi MC dalam upacara penghargaan atlet semester lalu dan menyalamiku setelah aku menerima penghargaan, ada sesuatu yang berubah.
"Selamat ya, Yuska. Keren banget bisa bawa pulang piala tunggal putra," katanya saat itu.
Aku hanya menjawab, "Terima kasih," namun dalam hati, aku menyimpan kalimat itu sebagai penyemangat terbesar dalam hidupku.
Beberapa bulan kemudian, aku resmi menjadi bagian dari tim pelatihan kabupaten--- puslatkab---untuk menghadapi ajang Popda. Ini bukan sekadar latihan biasa; ini adalah dunia yang keras, penuh kedisiplinan dan pengorbanan.
Puslatkab berjalan intens. Latihan digelar setiap sore dan akhir pekan, bahkan kadang hingga malam. Para pelatih sangat tegas. Tidak ada toleransi untuk keterlambatan, sikap malas, atau bermain setengah hati. Sekali saja kami lengah, teguran keras menanti. Tapi aku menikmati semua itu. Aku merasa sedang bergerak menuju mimpi.
Namun, latihan keras bukan tanpa risiko. Pada suatu sore latihan intensif, aku mengalami cedera pergelangan kaki. Rasa nyeri menyergap tiba-tiba, membuatku terjatuh keras. Pelatih memintaku berhenti sementara. Aku hanya bisa menunduk diam, menahan rasa kecewa yang tak tertahan.
Masa-masa pemulihan terasa panjang. Sambil memulihkan diri, aku tetap hadir dalam sesi latihan sebagai pengamat dan kadang latihan ringan. Aku tidak ingin ketinggalan. Meski sekadar mengamati strategi atau memegang shuttlecock untuk teman-teman, rasanya aku masih punya peran.