Keempat, pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) juga harus diintegrasikan ke dalam sistem audit dan pengawasan. Dengan memprioritaskan area dengan risiko tinggi seperti pengakuan pendapatan, aset tidak berwujud, dan transaksi derivatif, auditor internal dapat memfokuskan sumber daya secara lebih efektif. Terakhir, budaya organisasi yang menjunjung tinggi nilai transparansi dan integritas perlu dibangun secara konsisten dari level manajemen puncak hingga ke lini operasional terbawah.
Dalam menganalisis fenomena ini, digunakan pendekatan teori Fraud Triangle yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey (1953). Teori ini menjelaskan bahwa fraud terjadi karena adanya tiga elemen utama: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Tekanan bisa berasal dari target kinerja yang tidak realistis, sementara kesempatan muncul akibat lemahnya sistem pengendalian internal. Rasionalisasi adalah pembenaran diri pelaku terhadap tindakannya, yang seringkali dianggap sebagai ‘solusi sementara’. Ketiga elemen ini sering kali saling mendukung dalam membentuk kondisi yang subur bagi terjadinya kecurangan keuangan.
Pada PT Asabri, unsur tekanan terlihat dari dorongan target keuntungan yang tinggi dan gaya hidup mewah para pelaku. Pada PT Envy Technologies Indonesia Tbk (ENVY), unsur peluang tampak dari lemahnya sistem pengawasan internal yang memungkinkan terjadinya manipulasi laporan. Sementara pada PT Kereta Api Indonesia (KAI), unsur rasionalisasi muncul dari pola pikir pelaku yang membenarkan tindakan karena alasan ekonomi, seperti gaji kecil dan lemahnya sistem pengawasan. Ketiga kasus ini menjadi contoh bahwa kecurangan dapat terjadi karena adanya unsur-unsur dalam Fraud Triangle yang memberikan celah bagi individu untuk melakukan tindakan tidak jujur.
Fraud Triangle juga dapat dikembangkan lebih lanjut melalui Fraud Diamond Theory yang menambahkan unsur keempat yaitu kapabilitas (capability). Dengan kata lain, meskipun ada tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi, tanpa individu yang memiliki kemampuan dan akses teknis, fraud mungkin tidak dapat terjadi. Di era digital, kapabilitas pelaku semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Mereka tidak hanya memahami sistem, tetapi juga tahu bagaimana menyamarkan jejak digitalnya.
Penerapan kontrol dan pelaporan yang jujur atas laporan laba rugi komprehensif merupakan fondasi utama dari integritas perusahaan. Tanpa transparansi, perusahaan akan kehilangan kepercayaan publik, investor, dan mitra bisnis. Dalam jangka panjang, ketidakjujuran ini dapat memicu konflik kepentingan internal, menyesatkan pengambilan keputusan strategis, hingga berujung pada kebangkrutan. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap prinsip akuntabilitas dan kejujuran bukan hanya sekadar tuntutan regulatif, melainkan juga cerminan tanggung jawab moral dan profesional manajemen perusahaan.
Upaya penguatan kontrol dan transparansi tersebut sejalan dengan Agency Theory yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori ini menekankan pentingnya pengawasan dalam hubungan antara manajemen (agen) dan pemilik modal (prinsipal) untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks pelaporan keuangan, asimetri informasi sering menjadi celah terjadinya manipulasi.
Ketidakjujuran dalam laporan keuangan digital ibarat virus sistemik. Sekali kepercayaan publik runtuh, perusahaan bisa terkena panic withdrawal dari investor. Terlebih di era media sosial dan platform investasi ritel, manipulasi kecil bisa berdampak besar karena penyebaran isu sangat cepat. Oleh karena itu, sistem kontrol yang ketat dan laporan keuangan yang transparan diperlukan agar kepentingan agen dan prinsipal tetap selaras dan laporan laba rugi komprehensif bukan hanya alat internal, tetapi dokumen publik yang bisa menentukan nasib perusahaan.
Digitalisasi telah membawa transformasi fundamental dalam praktik pelaporan keuangan, menjadikannya lebih cepat, efisien, dan mudah diakses. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi potensi ancaman serius dalam bentuk manipulasi siber yang semakin kompleks dan tersamar. Kasus-kasus manipulasi laporan keuangan di Indonesia menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak serta-merta menjamin transparansi jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan dan kontrol internal yang kuat. Dalam konteks ini, pelaporan laba rugi komprehensif yang seharusnya menjadi refleksi objektif kinerja keuangan perusahaan justru dapat dijadikan alat manipulatif untuk menyesatkan pemangku kepentingan.
Penggunaan teori Fraud Triangle memberikan pemahaman mendalam bahwa tindakan fraud tidak terjadi begitu saja, melainkan lahir dari kombinasi tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi yang semakin diperparah oleh kemajuan teknologi. Oleh karena itu, penguatan tata kelola perusahaan, investasi pada sistem keamanan siber, serta peningkatan budaya integritas dan akuntabilitas menjadi kebutuhan yang mendesak. Pengawasan berbasis teknologi seperti forensic accounting, analisis digital footprint, dan sistem pelaporan otomatis berbasis AI harus dijadikan standar dalam pelaporan keuangan digital.
Lebih jauh, sinergi antara agen dan prinsipal melalui prinsip Agency Theory harus diperkuat agar laporan keuangan benar-benar mencerminkan kondisi riil perusahaan. Dengan demikian, laporan laba rugi komprehensif tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi juga simbol komitmen terhadap transparansi, etika, dan keberlanjutan jangka panjang perusahaan di era digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI