Hari ini bertepatan dengan ulang tahunmu, izinkan aku kembali menulis untukmu. Goresan tentang isi hatiku. Bukan tentangmu. Bukan pula tentang kita.Â
Aku sungguh tak punya nyali untuk menorehkan secuil kisah tentangmu. Karena, sama saja mempertaruhkan kembali seluruh ingatan.
Menghidupkan waktu demi waktu yang sudah usang. Kenapa? Karena kita sama-sama tidak ingin bertanggung jawab atas narasinya.
Bertepatan dengan senja yang makin merona, aku pun meramu kata. Sederet tulisan dengan banyak tanda koma, supaya kamu tidak bosan membacanya.
Konon, ketika kamu membaca tulisanku penuh tanda titik, bisa mengakibatkan kebekuan indera. Dirimu tidak akan kuat. Iya, kan?
Ceritaku untukmu adalah tentang perjalanan hidupku selama beberapa tahun terakhir ini.Â
Tentang aku yang terpaksa singgah di satu kota dalam kesendirian. Tanpa adanya sebuah jemari yang bisa kugenggam, membersamai dalam menapak samudera kehidupan.
Ketika sebuah pekerjaan menuntutku tetap bergerak, aku harus mampu berkemas dengan pesat, rela menempuh jarak jauh serta bertindak cepat.Â
Semua itu membuatku banyak belajar bahwa hidup terus berjalan tanpa berhenti, kecuali tangan Allah yang menghentikan.
Yang menarik dari perjalanan hidup ini adalah, aku menjadi lebih mengenal diriku sendiri.
Tersebab, semakin ke sini, makin menyadari tentang hati, pikiran adalah susunan kawanan watak atau sifat yang begitu labil.
Aku bisa jadi tangguh sekaligus rapuh, ceria tetapi sayu. Bisa diplomatis meski sering kurang analitis, sangat ceroboh namun menuntut detail. Semua kebalikan itu bisa terjadi dalam satu waktu.Â
Ada kalanya aku merasa begitu lelah dan ingin marah, tetapi menerima apa adanya adalah kunci keberhasilan. Maka, dengan begitu hati akan berdamai dengan diri sendiri.
Setelah itu akan merasa bahagia. Menyenangkan bukan? Bisa menerima perihal diri yang sulit dirinci bak karya seni.
Barangkali semua buku self-help yang laku ratusan hingga jutaan eksemplar di toko hanya ingin bilang:
"Terimalah, dan berdamailah dengan dirimu sendiri. Maka, kamu akan bahagia," hanya saja berbalut dengan kiasan supaya lebik menarik untuk dibaca.Â
Kisahku seperti ingin menggenapi perkataanmu kala itu, bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita bisa jatuh cinta pada diri sendiri.Â
Kemudian membaginya pada orang terkasih. Dulu, aku tidak sempat bertanya, bagaimana caranya?
Tetapi dalam perjalanan ini justru menemukan jawaban cara mencintai diri sendiri. Yaitu dengan menerima, supaya orang-orang tercinta bisa merasakan manfaatnya.Â
Terima kasih, diri ini banyak belajar darimu. Semoga kamu tidak lupa perkataanmu, juga segera menemukan kedamaian dalam keceriaan dunia.Â
Doaku di hari ulang tahunmu sesederhana itu saja, ya. Tidak perlu banyak, tetapi semoga mencukupi.
Alkisah dengan semakin banyak kejadian di kota yang kutempati saat ini, semoga bisa merasakan bahwa setiap tempat memiliki suasana dan rasa yang berbeda.Â
Diriku paling suka dengan kesimpulan kedua. Rasanya seperti sedang memberi nyawa kepadaku, hingga bisa mengingat dengan lekat.Â
Diantara dua kota yang kusinggahi, bisa membedakan mana yang bisa kusebut  tempat singgah atau rumah.
 Begitu pula membedakan kata "pulang" dan "balik" hanya dengan menyebut nama kota yang menjadi tujuanku.
Begitulah, hunian akan menjadi tujuan utama ketika ditinggalkan. Dan kotamu, akan menjadi salah satu tempat tujuanku untuk "pulang". Bisa  ke sana membuatku merasa senang, walau tanpamu.
Sejujurnya dari awal menulis, aku tidak tahu muara tulisan ini. Aku ingin bercerita tentang banyak hal yang tidak bisa kukatakan, itu saja.
 Kata orang,  "Scribo ergo sum," (aku menulis maka aku ada). Ya, aku akan selalu ada. Selamat ulang tahun, ya!
*****
Terisnpirasi Senandika Cakrawala Aksara. Kala senja indah kutorehkan sekilas kisah.
 Tulisan ke-empat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI